"Keterangan yang Diduga Bohong Digunakan Menjerat Tersangka"

"Keterangan yang Diduga Bohong Digunakan Menjerat Tersangka"

Senin, 04 Oktober 2021, 6:13:00 AM

Polres Bogor Sedang Pres Release
Jakarta, pospublik.co.id - Dugaan pemerasan sebagaimana diatur pada pasal 368 KUH Pidana yang  dipersangkakan Polsek Cilengsi kepada 3 orang oknum yang mengaku wartawan, nampaknya perlu diuji dan dikaji fakta yuridisnya. Pasalnya, Polsek Cilengsi menyebut dalam release Persnya, tersangka mencari kesalahan pelapor, kemudian mengancam dimuat dimedia. Terhadap ancaman itu, pelapor takut, akhirnya menyerahkan sejumlah uang. 


Katakan ada pelapor, penyidik harus betul-betul menguji laporan tersebut terlebih dahulu. Meminta keterangan/memprosesverbal pelapor dan meminta keterangan saksi fakta terlebih dahulu.

Pelapor dituntut jujur menguraikan peristiwa terjadinya tindak pidana tersebut, sehingga penyidik tidak bekerja sia-sia. Karena bisa saja unsur pemerasan tidak terbukti, tetapi justru kasus suap (gratifikasi).

Dimana, kapan, dan bagaimana, serta apa yang terjadi sehingga muncul masalah hukum antara pihak yang memberi dan yang menerima. Jika dikatakan ada kesalahan pemberi, dan takut dipublikasikan, pelapor harus jujur mengakui kesalahannya. Kejujuran pelapor sangat penting untuk mengurut benang merahnya masalah. Jangan sampai penyidik oleh pelapor dijadikan bamper menutupi kesahannya itu.

Apakah itu dugaan tindak pidana korupsi, dugaan perselingkuhan sesama oknum pegawai, atau selingkuhi istri orang sehingga oknum pelapor takut ketika hendak dipublikasikan, seharusnya terlebih dahulu disekidiki aparat penegak hukum. 

Kalau pelapor diduga merangkai kata-kata bohong, penyidik tidak seharusnya melakukan penyidikan. Namun, jika pelapor punya kesalahan dan akhirnya ingin menutup pemberitaan, itu dapat dikategorikan suap. Maka pemberi dan penerima harus sama-sama diganjar hukuman pidana yang sesuai untuk itu. 

Nampaknya uraian tersebut cukup bijaksana dilakukan terhadap ke-3 terduga pemeras yang diamankan Polsek Cilengsi. Karena ada bahasa dalam siaran pers Polsek Cilengsi yang menyebut, ke-3 oknum wartawan mencari kesalaha pelapor, kemudian mengancam akan dipublikasikan, sehingga korbannya menyerahkan sejumlah uang. Berarti dapat diambil benang merahnya, uang itu adalah "SUAP/GRATIFIKASI".


Setiap Laporan Polisi, pelapor selalu terlebih dahulu diprosesverbal, kemudian saksi yang diajukan pelapor dimintai keterangan untuk membuktikan sahih tidaknya laporan tersebut. Berdasarkan keterangan pelapor dan saksi, baru kemudian Polisi dapat menentukan layak tidaknya, atau memenuhi unsur atau tidak laporan tersebut untuk dilakukan penyidikan. 

Barangkali proses ini telah dilakukan Polisi Sektor Cilengsi, Polresta Bogor sehingga benar-benar yakin melakukan penangkapan sekaligus penahanan terhadap 3 orang berinisial: JN, ES dan SM yang mengaku wartawan dengan sangkaan pemerasan sebagaimana diatur pada pasal 368 KUH Pidana. 

Namun jika pelapor yang disebut korban pemerasan tidak ada, barang bukti tidak ada, tetapi oleh Polsek Cilengsi mengatakan ada 37 korban pemerasan yang terdiri dari ASN dan pegawai BUMN, alangkah naifnya penegakan hukum di Negeri yang dikenal sebagai Negara hukum ini.

Dalam release pers Polsek Cilengsi yang dilangsir media MMC News.id, Polsek Cilengsi tidak mencantumkan nama pelapor, setidaknya inisial dan nomor Laporan Polisi.

Terkait hal itu, Kompol Andri Alam Wijaya kepada awak media melalui sambungan seluler mengatakan, walau terkait keterbukaan infomasi publik, masalah nomor laporan polisi tidak bisa dipublikasikan. 

”Semua lengkap, namun walau demi keterbukaan informasi publik, ada yang tidak bisa disampaikan kepada media sebagaiman diatur dalam KUHAP. Apalagi ini produk hukum, kalau bapak mau tahu semua ada laporan dan korbannya, tapi masalah nomor laporan dan berita acara itu diatur dalam KUHAP, kita serahkan ke kuasa hukum untuk kepentingan pembelaan persidangan," ujar Andri Alam Wijaya sebagaimana dikutip dari MMC News.id.


Menurut Kapolsek Cilengsi, korbannya jelas, namun masuk perlindungan saksi dan korban. Polisi kata Andri tidak bisa menblow-up identitas korban. Yang pasti ujar dia, proses hukum sedang berjalan. "Kita lihat saja nanti, apakah sampai ke pengadilan kan gitu, ga mungkin ga ada korbannya,” ujarnya kepada wartawan.


Modus ketiga pelaku ini kata Kapolsek Cilensi kepada awak media, mereka membuntuti aktivitas korbannya yang rata-rata pengusaha, pejabat, atau ASN.


"Mereka ikuti aktivitas, bila ada kegiatan melenceng akan direkam menggunakan ponsel. Setelah dirasa memiliki bukti lalu melakukan pemerasan hingga pengancaman," kata Andri meyakinkan.


Bermodalkan kartu identitas pers ujar Andri, para pelaku mengancam memublikasikan kegiatan oknum tersebut lewat media.


"Nominal kerugian para korban yang diperas oleh para pelaku oknum wartawan ini beragam, ada yang mencapai Rp.250 juta dan paling sedikit Rp.3 juta," ungkap Andri.


Menurut Andri, pelaku dijerat dengan Pasal 368 KHUP tentang pemerasan disertai ancaman, dengan ancaman maksimal 5 tahun penjara.


Namun menjadi perhatian menarik, jika penangkapan ke-3 tersangka tersebut tidak ada korban yang melapor, dan barang bukti pun tidak ada, maka sangat disayangkan langkah hukum yang dilakukan Polsek Cilengsi.


Bupati Bogor, Ade  Yasin pun ikut buka suara atas tindakan hukum yang dilakukan Polsek Cilengsi terhadap 3 orang yang mengaku wartawan tersebut.


Bupati menyampaikan terimakasih kepada Kapolres yang sudah melakukan penindakan terhadap dugaan tindak pidana pemerasan tersebut.


Sayangnya, sudahkah tindak pidana ini bisa dibuktikan atau tidak. Jika ternyata tidak terbukti dan akhirnya ke-3 yang ditersangkakan bebas murni, apakah tidak terlalu dini Bupati menyampaikan rasa apresiasinya. Apakah tidak lebih bijaksana jika Bupati melakukan pembinaan terhadap organisasi dibawahnya yang dikatakan berbuat salah itu. 


Apa sebenarnya kesalahan oknum ASN Kab. Bogor hingga takut dipublikasikan lewat media. Ingat, tak ada asap kalau tidak ada api. Kata Bang Napi "Bukan karena Ada Niat, Tetapi Karena Ada Kesempatan,"

Jika azasnya karena takut dipublikasikan lewat media, berarti oknum ASN tersebut diduga melanggar hukum, norma, moral, dan/atau UU lainnya. Apakah tidak lebih baik dilakukan pembinaan ditubuh organisasi untuk menghindari kesalahan sekaligus menutup ruang  bagi oknum wartawan menakut-nakuti yang kemudian berujung suap?.

Minset harus berobah, sehingga istilah pemerasan tidak dikenal lagi dalam peristiwa seperti ini, tetapi harus dilihat sebagai gratifikasi (suap). (MA) 

TerPopuler