Tuaka Bidang Pengawasan MA-RI Diminta Eksaminasi Penetapan Ketua PN Bekasi

Tuaka Bidang Pengawasan MA-RI Diminta Eksaminasi Penetapan Ketua PN Bekasi

Selasa, 01 Juni 2021, 2:54:00 AM
 
Ketua Mahkamah Agung RI, Dr. H. Muhammad Syarifuddin, S.H., M.H.

Kota Bekasi, pospublik.co.id – Ketua Pengadilan Negeri Bekasi Klas I A Khusus, Erwin Djong, SH. MH berusaha menepis anggapan yang menyebut Penetapannya Nomor: 2/Pdt.P.Cons/2020/PN.Bks,Jo No.41/Pdt.G/2015/PN.Bks, Jo No. 558/Pdt.Plw/2015/PN. Bks,  Jo No.59/Pdt/2017/Pdt.Bdg  tertanggal 27 November 2020 atas Permohonan DPD II Partai Golkar (PG) Kota dan Kabupaten Bekasi, Nomor:2/Pdt.P.CONS/2020/PN. Bks tertanggal 25 November 2020, MENGAMPUTASI Putusan Majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara Nomor:41/Pdt.G/2015/PN. Bks yang telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht Van Gewijsde).


 

Anggapan yang menyebut penetapan Nomor:2/Pdt.P.Cons/2020/PN.Bks tertanggal 27 November 2020 tersebut MENGAMPUTASI putusan perkara Nomor:41/Pdt.G/2015/PN. Bks, karena Erwin Djong mengabulkan permohonan DPD II PG Kota dan Kab. Bekasi Nomor:2/Pdt.P.CONS/2020/PN. Bks tertanggal 25 November 2020 (selang 2 hari), yang isi permohonan merobah putusan perkara Nomor:41/Pdt.G/2015/PN. Bks, dari denda keterlambatan satu persen (1%) per hari menjadi hitungan bunga enam persen (6%) per tahun.


Putusan perkara Nomor:41/Pdt.G/2015/PN. Bks ini berkekuatan hukum tetap (Inkracht Van Gewijsde) berawal ketika pihak pertama/penjual (DPD II PG Kota dan Kab. Bekasi) membatalkan  PPJB Nomor:26 tahun 2004 yang dibuat dihadapan Notaris Rosita Siagian atas sebidang tanah dan bangunan yang dikenal sebagai tanah dan bangunan milik DPD II PG Kota dan Kab. Bekasi di Jln. A. Yani No.18 Kel. Margajaya, Kec. Bekasi Selatan, Kota Bekasi.


Karena gugatan itu berakhir damai, maka bunyi perdamaian itu dituangkan kedalam Akta Van Dading Nomor:41/Pdt.G/2015/PN. Bks, dengan kesepakatan: Pihak pertama mengembalikan uang pihak kedua (Drs. Andi Iswanto Salim) sebesar 4 x lipat jumlah uang yang telah diterima pihak pertama dari pihak kedua tahun 2004, yakni: 4 x Rp.1.065.000.000,- = Rp.4.260.000.000,- dan kepada pihak ketiga sebesar 3 x lipat jumlah uang yang telah diterima pihak pertama dari pihak ketiga tahun 2004, yakni: 3 x Rp.1.370.000.000,- = Rp.4.110.000.000,-.

Baca Berita Terkait: 

https://www.pospublik.co.id/2021/05/penetapan-ketua-pn-mengamputasi-putusan.html


Akta Van Dading juga berbunyi, bila mana pihak pertama (DPD II PG Kota dan Kab. Bekasi) lalai atau pun tidak melunasi kewajibannya membayar sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 point a dan poin b putusan tersebut, maka pihak pertama berkewajiban membayar denda atas keterlambatan kepada pihak kedua dan pihak ketiga sebesar satu persen (1%) per hari dari jumlah keseluruhan kewajiban pembayaran terhitung lewat waktu atau jatuh temponya pembayaran tanggal 30 Juni 2015  sampai kewajiban pihak pertama dibayar lunas.


 

Konon, terhadap kesepakatan damai yang dituangkan kedalam Akta Van Dading Nomor:41/Pdt.G/2015/PN. Bks tersebut, pihak pertama (DPD II PG Kota dan Kabupaten Bekasi) berusaha ingkar dengan menggugat pihak kedua dan ketiga di PN Bekasi hingga 3 x, yakni:

  • pertama, Perkara Nomor:558/Pdt.Pwl/2015/PN. Bks, 
  • Kedua:PerkaraNomor:59/Pdt/2017/Pdt. Bdg. 
  • Ketiga: Perkara Nomor:105/Pdt.G/2020/PN. Bks, namun tetap kalah karena objek dan subjeknya sama.

 

Belum puas atas putusan 3 perkara tersebut, belakangan, DPD II PG Kota dan Kab. Bekasi kembali mengajukan permohonan Penawaran pembayaran tunai dan Konsinyasi/Penitipan uang dengan mendalilkan sebagai pelaksanaan putusan perkara Nomor.41/Pdt.G/2015/PN.Bks, tersebut. Dalam permohonan, pemohon memohon PN Bekasi merobah putusan denda satu persen (1%) per hari menjadi enam persen (6%) per tahun.

Baca Berita Terkait:

https://www.pospublik.co.id/2021/04/objek-dan-subjek-gugatan-baru-sama.html


 

Terhadap permohonan Nomor:2/Pdt. P.CONS/2020/PN. Bks tertanggal 25 November 2020 itu, tanpa pikir panjang, Ketua Pengadilan Negeri Bekasi Klas I A Khusus, Erwin Djong langsung mengabulkan dengan menerbitkan Penetapan Nomor:2/Pdt.P.Cons/2020/PN.Bks, Jo No.41/Pdt.G/2015/PN.Bks, Jo No:558/Pdt.Plw/2015/PN. Bks, Jo No:59/Pdt/2017/Pdt.Bdg  tertanggal 27 November 2020.


 

Penetapan tersebut berbunyi: mengabulkan permohonan pemohon  memerintahkan juru sita PN Bekasi beserta 2 orang saksi untuk melakukan penawaran/konsinyasi kepada Drs. Andi Iswanto Salim sebesar Rp.4.260.000.000,- plus (+) denda menjadi bunga enam persen (6%) per tahun = Rp.1.278.000.000, total = Rp.5.538.000.000,- dan kepada pihak ketiga (Drs. Simon SC Kitono, SH. MH. MBA) sebesar Rp.4.110.000.000,- plus (+) denda menjadi bunga enam persen (6%) per tahun = Rp.1.233.000.000,- total = Rp.5.343.000.000,-. Namun terhadap penetapan itu, termohon-I, Drs. Andi Iswanto Salim menolak.


 

Penetapan Hakim tunggal, Ranto Indra Karta, SH. MH juga terindikasi telah MENGAMPUTASI putusan perkara Nomor:41/Pdt.G/2015/PN.Bks karena mengabulkan permohonan, namun hanya utang pokok, tanpa memperhitungkan denda sebagaimana bunyi putusan perkara Nomor:41/Pdt.G/2015/PN.Bks. Putusan hakim tunggal ini juga sekaligus bertentangan dengan penetapan Ketua PN Bekasi, yang mengabulkan denda menjadi enam persen (6%) per tahun.


 

Padahal, berdasarkan Risalah Rapat Bersma antara Tim Asset DPD II PG Kota dan Kab. Bekasi dengan Termohon I (Drs. Andi Iswanto Salim) tertanggal 18 Maret 2020, pemohon telah menawarkan pengembalian uang pihak kedua (Andi Iswanto Salim) sebesar Rp.15 Miliar. Namun oleh pihak kedua menganggap angka itu belum wajar, sehingga ditolak. Pihak kedua berkenan diselesaikan secara mediasi jika pihak pertama siap membayar Rp.25 Miliar secara tunai.


 

Jawaban Konfirmasi Oleh Ketua PN:


Ketika penetapan yang disebut MENGAMPUTASI putusan majelis hakim ini dikonfirmasi secara tertulis kepada Ketua PN Bekasi Klas I A Khusus, melalui suratnya Nomor:W11.U5/2897/HK.04.10/V/2021 tertanggal 31 Mei 2021, Ketua PN Bekasi menyebut, penetapan itu dikeluarkan karena telah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 1404 s/d Pasal 1412 Kitap Undang-undang Hukum Perdata (KUH-Perdata).

Baca Berita Terkait:

https://www.pospublik.co.id/2021/04/majelis-hakim-pn-bekasi-diduga-merobah.html


 

Menurut Ketua PN Bekasi pada jawaban butir ke-1, pada prinsipnya jika berpiutang menolak pembayaran dari yang berhutang, maka pihak yang berhutang dapat melakukan pembayaran tunai utangnya dengan menawarkan pembayaran yang dilakukan juru sita disertai 2 orang saksi. Apabila yang berpiutang menolak menerima pembayaran, maka uang tersebut dititipkan pada kas Kepaniteraan pengadilan sebagai titipan/konsinyasi, dan penawaran serta penitipan tersebut harus disahkan dengan penetapan hakim.


 

Menyimak penjelasan Ketua PN ini, agaknya dapat membingungkan publik. Pertama yang dibahas adalah penetapan Ketua PN yang mengabulkan permohonan pemohon untuk merobah putusan sebelum ditawarkan juru sita. Penawaran serta titipan harus disahkan dengan penetapan hakim. Lalu mengapa duluan penetapan Ketua PN baru disusul Penetapan Hakim Tunggal.


 

Butir ke-2, jawaban Ketua PN Bekasi menyebut, pihak pemohon konsinyasi/termohon eksekusi tidak mampu membayar sesuai dengan perhitungan yang ada dalam putusan perkara Nomor:41/Pdt.G/2015/PN. Bks, hanya sanggup membayar sesuai dengan kemampuannya sebagaimana yang telah dititipkan di PN. Bekasi. Dan karena pemohon katanya kembali mengajukan gugatan ke PN Bekasi sebagaimana terdaftar Nomor:47/Pdt.G/2021/PN. Bks, jadi sambil menunggu putusan perkara tersebut.

 

 

Mungkin jika boleh berpendapat, jawaban ini pun lagi-lagi terindikasi pembodohan publik. Pasalnya, penyelesaian perkara Nomor:41/Pdt.G/2015/PN. Bks ini sesuai isi perdamaian yang dituangkan dalam Akta Van dading tidak semata-mata pembayaran/pengembalian dari pemohon kepada termohon, tetapi boleh dengan cara eksekusi, dan/atau dikosongkan secara sukarela agar pemohon eksekusi yang melunasi pembayaran jual belinya. Didalam Akta Van Dading juga diatur hak dan kewajiban termohon penawaran konsinyasi (pihak kedua) jika harus melanjutkan jual beli.


 

Selanjutnya, Ketua PN Bekasi mengatakan, apabila gugatan Nomor:47/Pdt.G/2021/PN. Bks dikabulkan majelis hakim, maka uang yang dititipkan bernilai tetap sebagai pelaksanaan putusan  Nomor:41/Pdt.G/2015/PN. Bks, dan apabila gugatan ditolak, maka kekurangannya harus dipenuhi oleh pemohon konsinyasi/termohon eksekusi.


 

Jawaban ini lagi-lagi kekoyolan bagi public ataun pembaca pospublik.co.id, karena berdasarkan jawaban Ketua PN Bekasi ini, berarti tidak menutup kemungkinan gugatan Nomor:47/Pdt.G/2021/PN. Bks ini dapat menganulir atau menggugurkan putusan perkara Nomor:41/Pdt.G/2015/PN. Bks walau subjek dan objeknya sama, dan sudah berkekuatan hukum tetap.


 

Butir ke-3 jawaban Ketua PN Bekasi menyebut, penetapan Nomor:2/Pdt.P.Cons/2020/PN.Bks, Jo Nomor:41/Pdt.G/2015/PN.Bks, Jo No:558/Pdt.Plw/2015/PN. Bks, Jo No:59/Pdt/2017/Pdt.Bdg  tertanggal 27 November 2020 itu tidak menganulir putusan perkara Nomor:41/Pdt.G/2015/PN.Bks, tetapi hanya mengesahkan penitipan uang yang diajukan oleh pemohon sambil menunggu putusan perkara  Nomor:47/Pdt.G/2021/PN. Bks.


 

Ketua PN Bekasi dalam jawabannya menyebut tidak menganulir putusan Nomor:41/Pdt.G/2015/PN.Bks, tetapi faktanya telah merobah denda dari satu persen (1%) per hari menjadi enam persen (6%) per tahun. Terhadap jawaban tersebut, jika public merasa dibohongi itu mungkin merupakan hal yang wajar, karena indikasi telah dianulir dan diaputasi pun cukup jelas, tetapi masih berusaha ditutupi.


 

Butir ke-4 jawaban Ketua PN Bekasi menyebut, bahwa konsinyasi diatur dalam Pasal 1404 s/d Pasal 1412 KUH Perdata. Pada prinsipnya, jika berpiutang menolak pembayaran dari yang berhutang, maka pihak yang berhutang dapat melakukan pembayaran tunai utangnya dengan menawarkan pembayaran yang dilakukan juru sita dengan disertai 2 orang saksi. Apabila yang berpiutang menolak menerima pembayaran, maka uang tersebut dititip pada Kas Kepaniteraan pengadilan.


 

Menyimak jawaban Ketua PN Bekasi ini, jadi teringat nilai dana konsinyasi yang dititip Kementerian PU Pera di Kas Kepaniteraan Kota Bekasi sekitar Rp.210 Miliar lebih untuk ganti rugi pembebasan lahan untuk kepentingan umum, yakni: pembebasan lahan Jalan Tol JOR. Jika boleh berasumsi, PN Bekasi mungkin sedang terobsesi mengumpulkan dana konsinyasi ke Kas Kepaniteraan di Bank Tabungan Negara (BTN).


 

Sesungguhnya, penyelesaian perkara Nomor:41/Pdt.G/2015/PN.Bks berbanding terbalik dengan konsinyasi dan penitipan ganti rugi pengadaan tanah untuk pembangunan jalan, irigasi, dan proyek-proyek strategis nasional sebagaimana diatur dalam UU No.12 tahun 2012. Begitu juga hubungan antara kreditur dengan debitur yang dimaksud pada Pasal 1404 KUH perdata. Jawaban Ketua PN Bekasi tersebut juga lagi lagi terkesan sangat kurang pas.

 

Butir ke-5 jawaban Ketua PN Bekasi, Erwin Djong menyebut, pengadilan mau menerima dan mengesahkan penawaran dan penitipan yang diajukan pemohon karena sudah sesuai dengan Pasal 1404 KUH Perdata. Erwin Djong mengatakan, dirinya menunjuk hakim tunggal untuk menyidangkan perkara permohonan Nomor:2/Pdt.P.Cons/2020/PN.Bks, untuk pihak yang menolak penawaran yang dilakukan juru sita.


 

Jawaban ini pun sangat membingungkan, pasalnya, penetapan Ketua PN pun sudah ditolak termohon. Lalu mengapa harus menunjuk hakim tunggal lagi memeriksa permohonan, toh penetapan Ketua sudah mengabulkan permohonan. Mengapa ketika permohonan didaftar di PN Bekasi Kota, tidak terlebih dahulu ditunjuk hakim tunggal untuk memeriksa baru kemudian diterbitkan penetapan oleh Ketua PN Bekasi jika dianggap perlu. Urut-urutannya mungkin sangat janggal alias terkesan ada kepura-puraan.


 

Butir ke-6 jawaban Ketua PN Bekasi, Kedua penetapan menurut Ketua PN Bekasi Kota tetap berlaku, penetapan pertama yakni:Ketua PN, berisi perintah kepada juru sita untuk melakukan penawaran, sementara penetapan kedua adalah penetapan hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua PN untuk memeriksa permohonan.



Jawaban Ketua PN nampaknya tidak masuk substansi pertanyaan Redaksi pospublik.co.id. Pasalnya, pertanyaan adalah, penetapan yang mana yang dapat dilaksanakan, apakah Penetapan Ketua PN atau Penetapan Hakim tunggal, jika dua-duanya ingin digunakan, bagaimana mungkin dua penetapan yang saling bertentangan terhadap objek dan subjek yang sama bisa dilaksanakan. Jika salah satu harus gugur, yang mana yang digugurkan dan mengapa, dimana letak kesalahannya.


 

Butir ke-7 jawaban Ketua PN Bekasi menyebut, kedua penetapan tersebut tidak MENGAMPUTASI putusan perkara No.41/Pdt.G/2015/PN. Bks, dan penetapan itu sambil menunggu putusan perkara Nomor:47/Pdt.G/2021/PN. Bks. Ketiga kali Ketua dalam suratnya mengatakan, apabila gugatan perkara Nomor:47/Pdt.G/2021/PN. Bks dikabulkan, maka uang yang dititipkan bernilai tetap sebagai pelaksanaan putusan No.41/Pdt.G/2015/PN. Bks. Tetapi apabila gugatan ditolak, maka kekurangannya harus dipenuhi oleh pemohon konsinyasi/termohon eksekusi. 


 

Ketua menyebut tidak MENGAMPUTASI putusan Nomor:41/Pdt.G/2015/PN. Bks, namun penetapan itu sudah  terindikasi kuat merobah denda satu persen (1%) per hari (Rp.80 Miliar sejak awal Juli 2015) menjadi enam persen (6%) per tahun (Rp.1.278.000.000,-sejak awal Juli 2015) atau selama kurang lebih 6 tahun sejak jatuh tempo sebagaimana isi Akta Van Dading Nomor:41/Pdt.G/2015/PN. Bks.


 

Sementara Penetapan hakim tunggal, Ranto Indra Karta, SH. MH mengabulkan penitipan/konsinyasi hanya pokok, yakni: Rp.4.260.000.000,- sebahagian dari isi putusan perkara Nomor:41/Pdt.G/2015/PN, artinya, dia menetapkan secara parsial, tidak secara utuh atau simultan. Bukan kah ini juga dapat dikategorikan upaya mengamputasi putusan perkara Nomor:41/Pdt.G/2015/PN. Bks, yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut.


 

Namun apapun itu keputusan hakim, baik pun penetapan Ketua PN Bekasi Kota, kembali kepada pimpinan tertinggi lembaga tersebut yang menilai. Semoga tidak ada yang salah dalam menangani perkara ini, sehingga tidak perlu dilakukan eksaminasi oleh Hakim Pengawas Mahkamah Agung RI.  (MA)

 


TerPopuler