Peran Perawat Dalam Advokasi Transplanstasi Organ Secara Ilegal

Peran Perawat Dalam Advokasi Transplanstasi Organ Secara Ilegal

Rabu, 13 Januari 2021, 7:09:00 PM

Peran Perawat Dalam Advokasi dan Edukator dalam Mereduksi  Kasus Transplanstasi Organ Secara Ilegal

POLICY BRIEF
Disusun Oleh: Aprinaldi
Program Magister Keperawatan Kekhususan Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus FIK UI, Jl. Prof. Dr. Bahder Djohan, Depok, Jawa Barat-16424 


Ringkasan Eksekutif
Transplantasi organ merupakan tindakan medik yang dilakukan yang sangat bermanfaat bagi pasien yang memiliki masalah fungsi organ atau kegagalan pada fungsi organ. Tindakan ini bertujuan untuk mengganti organ yang sudah mengangalami kegagalan fungsi dapat digantikan oleh organ baru yang didapatkan dari pendonor organ. Dengan banyaknya permintaan organ yang akan di donorkan. Menjadi suatu bisnis baru, yaitu perdangangan secara illegal jual beli organ khususnya ginjal. Masalah yang berkembang di masyarakat.

Dengan banyaknya jumlah permintaan transplantasi organ secara illegal, memicu timbulnya korban yang sangat rentan dengan berbagai faktor. Dan beberapa modus tindakan transplantasi organ secara illegal yang dilakukan oleh oknum yang tak bertanggungjawab. Perawat di masyarakat, mempunyai peran yang penting dalam mereduksi praktek jual beli organ secara illegal, peran perawat dapat berperan sebagai advokat melindungi korban dan hak-hak korban secara manusiawi dan tidak dirugikan dalam kasus perdagangan illegal transplantasi organ.

Selain itu peran sebagai educator sangat penting merupakan salah satu upaya peningkatkan pengatahuan akan bahaya praktik jual beli organ secara illegal.Perawat juga bisa memberikan pencerahan bagaimana sistem dan mekanisme transplantasi organ sesuai dengan Permenkes RI no.38 tahun 2016 dimana dalam peraturan ini sudah tersedia aturan dan mekanisme yang benar tentang tata cara transplantasi organ yang di keluarkan  oleh negara.

Latar Belakang:
Keberhasilan transplantasi organ yang pertama kali berupa ginjal dari donor kepada pasien yang menderita gagal ginjal pada tahun 1954, perkembangan di bidang transplantasi berkembang dengan pesat. Selanjutnya permintaan transplantasi organ terus mengalami peningkatan melebihi ketersediaan donor yang ada Transplantasi organ atau jaringan tubuh manusia merupakan tindakan medik yang sangat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan fungsi organ tubuh yang berat merupakan suatu bentuk penanganan yang diterima dalam mengatasi kegagalan organ stadium akhir.

Mencuatnya perdagangan organ secara illegal yang terorganisasi secara teratur dan rapi dewasa ini telah berhasil menarik perhatian publik. Timbulnya perdagangan organ memicu banyaknya orang-orang yang rentan yang mungkin tergoda untuk menjual ginjal kepada mereka yang membutuhkan. Dari sinilah timbul korban transplantasi (Arifin, 2012).

Universal Declaration of Human Rights Pasal 1 dan 2 menegaskan bahwa semua orang dilahirkan dengan martabat dan hak-hak yang sama dan berhak atas semua hak dan kebebasan sebagaimana yang ditetapkan oleh Deklarasi tanpa membeda-bedakan baik dari segi ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, maupun yang lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, hak milik, kelahiran, hak untuk hidup, atau kedudukan yang lain. (Boer, 2005) WHO (World Health Organisation) dalam resolusi WHA (World Health Assembly) menentukan 9 pedoman yang berkaitan dengan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional khususnya mengenai perdagangan organ manusia secara illegal. Di dalam Pedoman 3 dikatakan bahwa organ untuk transplantasi harus didonor secara sukarela dari tubuh orang yang meninggal namun, manusia yang masih hidup yang mungkin akan menyumbangkan organ kepada orang lain secara umum pendonor tersebut harus terkait dengan genetik dari sang penerima organ.

Perlindungan korban merupakan perlindungan yang seharusnya didapatkan oleh mereka yang menderita secara jasmani dan rohani dimana mereka mendapatkan perlindungan hukum yang layak yakni suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. (Arif, 1983). Pencegahan timbulnya korban berkaitan dengan hak asasi manusia untuk hidup terkait dengan kasus transplantasi dalam Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi Pasal 6 dari Protokol khusus konvensi mengenai bantuan dan perlindungan korban perdagangan orang menyatakan bahwa, setiap negara pihak harus melindungi privasi dan identitas korban perdagangan manusia, termasuk, antara lain, dengan membuat proses hukum yang berkaitan dengan perdagangan rahasia, setiap negara pihak wajib.

Beberapa faktor tertentu dapat mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan menjual organ tubuhnya adalah faktor ekonomi dan kurangnya pengetahuan tentang bahaya transplantasi organ secara ilegal, faktor inilah yang dapat menjadi salah satu penyebabnya. Faktor berikutnya adalah faktor ekonomi. Permasalahan ini sering sekali menjadi pemicu utama terjadinya kasus perdagangan organ tubuh manusia.

Tanggungjawab yang besar untuk menopang hidup keluarga, keperluan yang tidak sedikit sehingga membutuhkan uang yang tidak sedikit pula, terlilit hutang yang sangat besar, dan motif-motif lainnya yang dapat memicu terjadinya tindakan perdagangan organ tubuh. Bahkan sebagian besar pendonor yang ingin menjual organnya beralasan dapat meningkatkan status ekonomi mereka dan kurang nya pengetahuan transplantasi organ bahwa manusia dapat hidup sehat dengan satu ginjal (Baldasaro, 2014).

Transplantasi organ dilakukan dengan ketentuan yaitu hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk diperjual belikan dengan alasan apa pun; hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan; dilakukan dengan fasilitas pelayanan kesehatan tertentu; serta pengambilan organ dan/atau jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan kesehatan pendonor yang bersangkutan dan mendapat persetujuan pendonor dan/atau ahli waris atau keluarganya (Soekidjo Notoatmodjo, 2010 : 66).

Persetujuan pendonor atau keluarga dikenal pula dengan informed consent. “Hakikatnya, Informed consent mengandung dua unsur esensial yaitu informasi yang diberikan oleh dokter (information for consent) dan persetujuan yang diberikan oleh pasien (statement of informed consent)” (Hermien Hadiati Koeswadji, 1998).

Peran perawat dalam pelayanan keperawatan di masyarakat terkait transplantasi organ dan jual beli organ secara illegal, mempunyai peran yang sangat penting untuk melindungi masyarakat dari tindakan yang merugikan dan membahayakan. Dalam kode etik keperawatan Indonesia. Dalam point hubungan perawat dan masyarakat.

Perawat mempunyai peran penting dan memperkarsai peningkatan derajat kesehatan di masyarakat. Dalam hal ini salah satu Peran perawat. Melindungi masyarakat dari praktik jual beli organ adalah peran advokasi. Peran advokasi adalah melindungi  hak-hak bagi pendonor dan penerima organ.

Advokasi tindak hanya untuk mereka yang kurang mampu melindungi diri sendiri, tetapi juga ditujukan kepada masyarakat  yang membutuhkan advokasi dalam hal penyediaan data yang dibutuhkan dalam mengambil keputusan. (Afidah & Sulisno, 2013), selain itu perawat, mempunyai peran yang sangat penting, yaitu memutus terorganisirnya oknum yang melakukan jual beli organ secara illegal, Upaya yang dapat dilakukan dalam memutus terorganisirnya praktik jual beli organ secara illegal dan menurunkan timbulnya korban baru adalah dengan cara meningkatkan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya melakukan transplantasi secara illegal dan dilakukan oleh tenaga kesehatan yang tidak berkopenten.

Pendonor dan penerima donor harus melakukan beberapa prosedur pemeriksaan kesehatan dan konsultasi oleh tenaga kesehatan yang memiliki kewenangan, sebelum dan sesudah melakukan transplantasi di layanan kesehatan yang terakreditasi. Selain itu, dilakukan dengan bekerjasama dengan pihak terkait, untuk melakukan tindakan hukum terkait pelaku perdanganan organ illegal dan badan perlindungan hukum korban kasus transplantasi organ.

Selain perlindungan hukum dan pengawasan terhadap praktek jual beli organ perlu di lakukan pembuatan kebijakan terkait perlindungan hak-hak penerima dan pendonor secara hukum, upaya tersebut dilakukan dalam rangka menurunkan timbulnya korban terkait praktik jual beli dalam kasus transplantasi organ.

Metode:
Metode dalam Policy brief ini berasal dari observasi, opini dan kajian Literatur mengenai transplasntasi organ dan perlindungan hak-hak korban dalam masyarakat dan modus praktik transplantasi organ. berasal dari berbagai sumber Referensi.

Hasil dan Kesimpulan:
Perdagangan organ tubuh manusia merupakan ancaman kejahatan di masa yang akan datang. Sifatnya yang terorganisasi dan melintasi batas-batas negara harus diantisipasi oleh masing-masing negara dengan menyiapkan sistem hukum agar penanggulangan kejahatan dapat dilakukan secara efektif.

Kerjasama regional maupun internasional harus dilakukan untuk mempersempit ruang gerak yang dapat dimanfaatkan guna memperluas jaringan kejahatan yang tergolong pelanggaran terhadap hak asasi manusia (Afidah & Sulisno, 2013). Negara wajib melindungi warga negaranya, khususnya dari ancaman tindak pidana perdagangan organ tubuh manusia sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.

Peraturan Perundang-undangan yang mengatur hal larangan perdagangan orang adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007. Pengaturan tentang transplantasi organ di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dalam Pasal 64-65 mengenai tranplantasi organ.

Mengenai perjual-belian organ diatur dalam undang-undang yang sama dalam Pasal 64 ayat (3) yang berisi : “organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjual-belikan dengan dalih apapun”. Dengan adanya aturan yang berlaku tersebut maka perlu adanya realisasi atau implementasi. Mulai dari pengaturan sanksi serta perbandingan dengan peraturan perundangan-undangan yang lain.

Modus penipuan penjualan donor hidup dapat dilakukan oleh oknum melalui beberapa cara yaitu:
Pertama dengan modus penipuan, penipuan dilakukan dengan cara memberikan imbalan jasa kepada pendonor tidak sesuai dengan perjanjian diawal dilakukan oleh pendonor dan oknum. Oknum tersebut mengiming imingi pendonor dengan imbalan jasa yang banyak sehingga pendonor merasa tergiur dengan modus penipuan tersebut. pendonor mendonorkan organ tubuh mereka, Namun kenyataannya, setelah pendonor melakukan sesuai perjanjian mereka, ketiga pelaku tidak memberi uang dengan jumlah yang sudah dijanjikan (Hukum et al., 2009).

Kedua adalah dengan mengadopsi bayi, yaitu: Pelaku mengadopsi bayi untuk dirawat sampai dia tumbuh remaja kemudian organ tubuhnya diambil dan dijual, bukan hanya dijual di dalam negeri namun juga ke luar negeri. Kasus tersebut memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Adanya eksploitasi, tanpa persetujuan korban karena posisinya rentan, dalam hal ini anak yang umurnya belum dewasa untuk memutuskan tindakannya sendiri. Eksploitasi berupa transplantasi organ tubuh anak tersebut dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan.

Ketiga adalah Perdagangan organ tubuh dimulai dengan iklan melalui surat kabar maupun internet yang berisi pencarian donor organ dengan nomor yang dapat dihubungi atau berasal dari calon donor yang ingin memberikan organ tubuhnya kepada yang membutuhkan dengan imbalan tertentu.

Modus operandi pelaku dengan membuat Kartu Tanda Penduduk (selanjutnya disingkat KTP) palsu seolah-olah pendonor adalah saudara dari pasien. Saat ini semakin banyak modus untuk melakukan perdagangan organ tubuh ini antara lain kasus pembunuhan dimana sebelum dibunuh seluruh organ tubuh korbannya telah diambil terlebih dahulu untuk dijual.

Keempat  pengambilan organ dari Tenaga kerja Indonesia, atau TKI dengan Kasus hilangnya organ tubuh Tenaga Kerja Indonesia (selanjutnya disingkat TKI) yang tewas ditembak polisi di Malaysia. Sebelum dikembalikan ke kampung halamannya, kedua bola mata hilang, kepala terbelah-belah, ada ditemukan plastik di kepala, serta beberapa alat operasi masih tertinggal dalam tubuh.

Kelima,  yaitu dengan kasus penculikan anak untuk diekploitasi jual beli organ. (Hukum et al., 2009). Dengan banyaknya cara modus praktik jual beli organ secara illegal, Perawat mempunyai peran sebagai advokasi yaitu melindungi hak hak penerima donor dan pendonor.

Agar proses tranplantasi organ dilakukan dengan beberapa prinsip keperawatan yaitu intimacy, respect to other, dan penuh dengan rasa compassion atau caring kepada pendonor maupun penerima donor. Dengan peningkatan edukasi  yang dilakukan di masyarakat secara langsung dan media social di masyarakat tentang bahaya jual beli  secara illegal di harapkan menurunnya korban baru dalam praktik jual beli organ tersebut (Hukum et al., 2009).  
                                           

Rekomendasi:
Berikut merupakan Rekomendasi kebijakan yang perlu dibuat untuk melindungi dan meningkatkan pengetahuan masyarakat terkait transplantasi organ secara illegal.

Penerima dan pendonor:
  • Penerima dan Pendonor organ melakukan proses Transplantasi organ di tempat pelayanan kesehatan yang terakreditasi dan tenaga kesehatan yang kompeten.
  • Penerima dan Pendonor Organ melakukan konsultasi dan pemeriksaan kesehatan sebelum dan sesudah transplantasi organ di tempat layanan kesehatan yang terakreditasi.
  • Penerima dan pendonor melaporkan kepada pihak berwajib apabila mencurugai adanya praktik transplantasi organ secara illegal.

Perawat:
- Perawat ikut serta meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang bahaya transplantasi organ secara illegal.
  • Perawat melakukan advokasi terhadap koban penerima dan pendonor transplantasi organ illegal.
  • Perawat melakukan advokasi terkait hak asasi manusia penerima dan perlindungan hukum pada kasus transplantasi organ.
  • Perawat bekerjasama dengan masyarakat dan pihak berwajib dalam memutus ruang gerak oknum transplantasi organ secara illegal.
  • Perawat mendeteksi dan mengkaji masalah yang terjadi di masyarakat terkait transplantasi organ secara ilegal.

Masyarakat:
  • Masyarakat melaporkan tindakan praktik transplantasi organ secara illegal. 
  • Masyarakat selalu waspada terhadap modus penipuan dan modus lain dalam praktik tansplantasi organ.
  • Masyarakat bekerja sama dengan perawat dan pihak berwajib dalam memutus mata rantai transplantasi organ secara illegal.

Referensi:
  1. Afidah, E. N., & Sulisno, M. (2013) Rumah Sakit Negeri Di Kabupaten, Semarang. 1(2), 124–130.
  2. ARIFIN, E. V. I. (n.d.) Bagian Hukum Internasional Fakultas, Hukum Universitas Hasanuddin Makassar,    Core.Ac. Uk. https://core.ac.uk/download/pdf/25493138.pdf
  3. Hukum, F., Sebelas, U., & Surakarta, M. (2009). Manusia Untuk Transplantasi dari Donor Hidup Dalam Perundang-Undangan Di Indonesia 4 (3), 312–321.
  4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
  5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
  6. Permenkes RI no 38 tahun 2016 tentang transplantasi organ dan jaringan. (***)

TerPopuler