JPU Abaikan SE Kajagung dan Akankah Majelis Hakim Abaikan Peraturan MA-RI

JPU Abaikan SE Kajagung dan Akankah Majelis Hakim Abaikan Peraturan MA-RI

Minggu, 14 Juni 2020, 11:03:00 PM
Sidang Perkara Pidana Di PN Bekas
Kota Bekasi, pospublik.co.id - Hosiyah Safitri (45) nampakya adalah pembeli beritikad baik atas sebidang tanah sertifikat hak milik (SHM) No.51 Sumur Batu. Namun entah mengapa, dirinya justru menjadi tersangka di PN Bekasi, dengan dakwaan pemalsuan KTP dan KK atas nama Nyain Bin Kaisin (Pemilik tanah/Penjual).

Selain harus mendekam di penjara, uang miliknya sekitar Rp.1 miliar pun terancam bablas  jika Palu hakim yang diketuai Ardi dengan hakim anggota Eli Suprapto dan Tri Yuliyani, dalam perkara No.170/Pid.B/2020/PN.Bks ini hanya berpatokan terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Arif Budiman, SH dan Sukma, SH dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Bekasi.

Fakta dipersidangan pemeriksaan perkara No.170/Pid.B/2020/PN.Bks ini nampaknya menuntut majelis hakim ekstra hati-hati membuat pertimbangan demi rasa keadilan. Pasalnya, terdakwa Sujai dalam perkara splitsing No.150/Pid. B/2020/PN. Bks yang menjadi figur Nyain Bin Kaisin dengan cara memalsukan KTP dan KK yang seolah-olah dirinya adalah Nyain Bin Kaisin telah divonis terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pemalsuan.
JPU Perkara Terdakwa Hosiyah Safitri dan Kartini
Untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya, terdakwa Sujai oleh majelis hakim yang diKetuai, Asiyadi Sembiring, dibantu hakim anggota, Beslin Sihombing dan Ismed dalam perkara split menghukum terdakwa 2 tahun 1 bulan penjara. Putusan tersebut lebih ringan dari tuntutan JPU Kejari Kota Bekasi, 4 tahun penjara. Sepanjang pemeriksaan terdakwa Sujai dalam perkara No.150/Pid.B/2020/PN.Bks, dia mengaku sebelumnya tidak mengenal terdakwa Hosiyah Safitri (Pembeli). Kali pertama kata dia mereka bertemu ketika BPN melakukan pengukuran objek tanah yang diperjual belikan, dan ketika itu diakuinya Hosiah Safitri memberinya uang Rp.1 juta.

Artinya, KTP dan KK sudah terlebih dahulu dia palsukan baru bertemu dengan terdakwa Hosiah Safitri. Dan pelaku pemalsuan KTP dan KK yang dilaporkan oleh orang yang dalam persidangan seolah tidak memiliki legal standing dalam Sertifikat Hak Milik No.51 Sumur Batu tersebut sudah dihukum. Dan sepanjang pemeriksaan perkara splitsing ini, terungkap bahwa pemalsuan itu sama sekali tidak diketahui terdakwa Hosiyah Safitri. Justru, jika mengikuti alur ceritanya,9 dan keterangan terdakwa dalam perkara splitsing, Hosiyah Safitri adalah korban dari Mantra selaku anak pertama pemilik tanah. 

Didampingi penasehat hukumnya dari Law Office Abidan Lumbantoruan, SH & Partners, Ratna Lumbantoruan dan Roganda Siregar, kepada majelis hakim Pengadilan Negeri Kota Bekasi, wanita paru baya ini menceritakan awal mulanya dirinya membeli tanah seluas 16.250 meter persegi, Leter C.781 Persil. 37 D.III sertifikat hak milik No.51 Sumur Batu atas nama Nyain Bin Kaisin tersebut. 

Keterangan Hosiyah Safitri Kepada majelis hakim PN Bekasi, pertama kali menawarkan tanah itu untuk dijual adalah Risan Wahyudin, staf Kelurahan Ciketing Udik. Tetapi Risan tidak memberitahukan kalau pemilik tanah itu sudah meninggal. Risan Wahyudin hanya menunjukkan copy sertifikat tanah atas nama pemilik Nyain Bin Kaisin berikut copy KTP dan KK. 
Berita Terkait:
https://www.pospublik.co.id/2020/06/tipidum-yang-obyeknya-berupa-tanah.html

Setelah mencocokan copy sertifikat  dengan copy KTP dan KK atas nama Nyain Bin Kaisin, dia pun meminta bantuan staf Notaris Hirza Arafatul Lama'ah, SH bernama  Kartini mengecek kebenaran informasi itu ke BPN.

Mendapat keterangan dari Kartini, (terdakwa dalam perkara split No.171/PId.B/2020/PN. Bks), bahwa SHM No.51 tersebut benar tapi terblokir di BPN atas penguasaan Albert Purba, dan belum pernah AJB dia pun bersedia menebus dan membeli tanah tersebut. Karena kebetulan berdekatan dengan gudang miliknya, akhirnya dilakukan jual beli dihadapan Notaris.

Selanjutnya, sertifikat No.51 Sumur Batu itu telah balik nama menjadi Sertifikat Hak Milik No.2575 Ciketing Udik seluas 16.250 M2 C.781 Psl 37 D.III atas nama Hosiyah Safitri. Hosiah sama sekali tidak mengetahui kalau pemiliknya Nyain Bin Kaisin telah meninggal dunia. 

Tanggal 27 Juni 2014 ujar Hosiyah dipersidangan, penjual Nyain Bin Kaisin bersama anaknya Mantra, dan Andre Purba (Anaknya Alber Purba) hadir di Notaris Hirza Arafatul Lama'Ah, SH untuk dilakukan perikatan jual beli. Setelah sepakat, pada tanggal 16 Juli 2014 dilakukan penandatanganan Akte Jual Beli (AJB) No.1055/2014 antara Nyain Bin Kaisin dengan Hosiah Safitri. Hari itu juga Hosiah Safitri menyerahkan uang Rp.50 juta kepada Mantra sesuai   petunjuk orangtuanya agar setiap pembayaran diserahkan kepada Mantra. Kepada Andre anak Albert Purba juga diberikan Rp.20 juta untuk membuka blokiran di BPN dan mengambil sertifikat No.51 tersebut.

Terdakwa Hosiyah Safitri menyebut, sebelum balik nama, dia terlebihdahulu bayar kepada Albert Purba Rp.400 juta. Kemudian, kepada Pemilik tanah Nyain Bin Kaisin yang diwakilkan kepada anak pertamanya bernama Mantra, dihadapan Notaris Hirza Arafatul Lama'ah, SH, disepakati Rp.700 juta empat (4) kali bayar. Setelah menyerahkan uang muka,  hari itu juga dilakukan penandatangan balik nama, dan membayar BPHTB Rp.140 juta tunai. "Sekarang pembayaran sudah lunas pak hakim," ujar Hosiyah Safitri.

Dihadapan Majelih Hakim PN Bekasi Kota, Terdakwa Hosiyah Safitri menerangkan, beberapa bulan kemudian baru mengetahui bahwa orangtua Mantra (Nyain Bin Kaisin) telah meninggal dunia. Mengetahui Nyain Bin Kaisin meninggal Dunia, dia segera menemui Mantra dan meminta uangnya dikembalikan. Tetapi Mantra menyebut tidak ada masalah karena mereka (ahli waris) tidak akan keberatan. Ke BPN juga dia informasikan bahwa Nyain Bin Kaisin yang tercantum dalam AJB tersebut sudah meninggal, tetapi oleh BPN kata terdakwa menyebut tidak masalah karena waris tidak keberatan.

Kekhawatiran Hosiyah Safitri atas AJB itu suatu saat bisa bermasalah, akhirnya menjadi kenyataan. Dia terlena dengan apa kata Mantra dan oknum di BPN yang menyebut tidak masalah karena ahli waris tidak keberatan.
Haruskah Pembeli Beritikad Baik Itu Dipenjara

Pil pahit terpaksa ditelan Hosiyah Safitri walau nampaknya dia adalah pembeli beritikad baik. Sutoyo Arjo dan Fendi Fatra mengklaim tanah SHM No.2575 Ciketing Udik milik Hosiyah Safitri yang berasal dari SHM No.51 Sumur Batu tersebut adalah miliknya. Menurut Sutoyo Arjo dan Fendi Fatra, lahan seluas 16.250 M2 tersebut adalah fisik dari sertifikat hak milik (SHM) No.1870 seluas 1500 M2
Sertifikat No.1871 seluas 1.500 M2
Sertifikat No.1873 seluas 1.500 M2, Sertifikat No.1874 seluas 1.500 M2 masing-masing atas nama Sutoyo Arjo, dan Sertifikat No.1872 seluas 4.400 M2, Sertifikat No.1886 seluas 1.667 M2 atas nama Fendi Fatra.

Walau dengan tegas dikatakan Hosiyah Safitri dalam eksepsi yang diajukan Pengacaranya, bahwa AJB No.1055/2014 tertanggal 16 Juli 2014 atas sertifikat No.51 Subur Batu tidak ada hubungannya dengan sertifikat yang didalilkan pelapor, Sutoyo Argo dan Effendi Fatra, Pelapor tidak berkaitan dengan sertifikat No.51 Sumur Batu yang telah balik nama menjadi sertifikat No.2575/Ciketing Udik, Pelapor tidak pernah dirugikan terlapor (Terdakwa Hosiyah Safitri), dan Pengakuan sertifikan tumpang tindih tidak mendasar dan mengada-ngada sesuai keterangan yang mereka peroleh dari BPN, dan mengenai keperdataan sedang diuji di pengadilan, namun tindak pidana dengan tuduhan pemalsuan KTP dan KK menjadi senjata pamungkas pelapor. 

Terhadap pengakuan pelapor tersebut, menjawab pertanyaan pengacaranya dipersidangan, Hosiyah Safitri menerangkan telah mendaftarkan gugatan di PN Jakarta Timur, dan kini pemeriksaan perkaranya sudah tingkat Kasasi di MA-RI.

Konon, pihak lawan tidak begitu saja menyerah, Sutoyo Arjo dan Efendi Fatra berusaha mencari langkah jitu untuk mendepak Hosiyah Safitri lewat Pidana pemalsuan sebagaimana diatur pada Pasal 264 ayat (2) KUHP, jo pasal 55 ayat (1) KUHP, atau pasal 266 ayat (1) dan ayat (2) atau pasal 263 ayat (2) KUHP. 

Padahal menurut Pengacara terdakwa, sengketa kepemilikan harus dibuktikan terlebih dahulu oleh pelapor yang mengklaim tanah itu miliknya, baru kemudian pelapor memiliki legal standing melaporkan kliennya. Karena jika menyangkut KTP dan KK, seharusnya yang merasa dirugikan bukan pelapor, melainkan ahli waris/pemilik tanah. Sementara dalam kasus ini, ahli waris tidak keberatan, karena mereka dengan cakap menyadari tanah orangtua mereka sudah dibayar lunas oleh terdakwa tahun 2014.

Menjadi pertanyaan, apakah majelis hakim akan mengikuti alurnya Jaksa Penuntut Umum dari Kejari Kota Bekasi yang nampaknya telah mengabaikan Surat Edaran Jaksa Agung No:B.230/E/Ejp/01/2013 tentang tindak pidana umum yang objeknya berupa tanah agar ditangguhkan dahulu menunggu perkara perdatanya selesai, akan tetapi dalam perkara ini JPU tetap melanjutkan ke Penuntutan. 

Apakah majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini juga akan mengabaikan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) RI No.1 Tahun 1956 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum yang Obyeknya Berupa Tanah.
  
Pengamatan media ini di ruang persidangan, kesempatan penasehat hukum terdakwa dari Law Office Abidan Lumbantoruan, SH & Partners, Ratna Lumbantoruan dan Roganda Siregar, untuk menggali keterangan dari terdakwa pun agak terbatas. Pasalnya, ketika mereka (Pengacara terdakwa-Red) menyinggung mengenai upaya hukum yang telah dilakukan kliennya sebelum dirinya menjadi terlapor, Hosiyah Safitri mengaku telah mendaftarkan gugatan di PN Jakarta Timur, dan kini perkara Perdata Nomor:48/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Timur tersebut sudah tingkat Kasasi, namun oleh Ketua Majelis hakim spontan menegur supaya pengacara tidak menggiring pertanyaan keranah perdata.

Padahal menurut pengacara terdakwa, pertanyaan ini sengaja disampaikan dipersidangan karena sengketa keperdataan masih atau sedang diperiksa hakim Kasasi MA, dan merupakan bagian dari Surat Edaran Jaksa Agung RI dan Peraturan Mahkamah Agung RI, tentang tindak pidana umum yang objeknya berupa tanah agar ditangguhkan dahulu menunggu perkara perdatanya selesai.  

Mendengar teguran majelis hakim tersebut, pengacara terdakwa terlihat kecewa berat. Sejak awal Pengacara terdakwa memang sudah mengaku ada aroma tak sedap dalam perkara ini. isu kepentingan dan iming-iming dari dan bagi sejumlah oknum yang ikut andil pun katanya terus menyeruak hingga perkara pidana ini dipaksakan naik.

Tinggal dewa Portuna menjadi sandaran nasib terdakwa bisa lolos dari maut. Kendati demikian ujar pihak terdakwa, pengawasan melekat (Waskat) Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI sangat dibutuhkan dalam perkara ini. (R-01)     





TerPopuler