![]() |
| Foto Kerusakan Pada PJU dekoratif di ruas Jalan Kalimalang, Kabupaten Bekasi (doc,PP) |
Bekasi, pospublik.co.id — Proyek PJU dekoratif di ruas Jalan Kalimalang, Kabupaten Bekasi, yang menelan anggaran puluhan miliar APBD 2024 dan telah berdiri baru kurang lebih satu tahun, kini memunculkan persoalan serius mengenai kualitas konstruksi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran daerah.
Temuan lapangan Media PosPublik menunjukkan adanya kerusakan yang tidak lazim terjadi pada infrastruktur yang masih sangat baru.
Retakan besar pada pondasi, beton yang terurai, baut yang mulai mengalami korosi, serta degradasi galvanis pada badan tiang memperlihatkan gejala kegagalan struktural yang tidak seharusnya terjadi dalam rentang waktu sesingkat ini.
Secara normatif, umur teknis konstruksi seperti PJU dekoratif seharusnya jauh lebih panjang, terlebih dengan pembiayaan yang mencapai puluhan miliar rupiah.
Dalam konteks tersebut, jawaban resmi Dinas Perhubungan Kabupaten Bekasi yang menyatakan bahwa kerusakan itu disebabkan oleh “proyek galian kabel” menimbulkan pertanyaan akademis maupun administratif yang cukup mendasar.
Secara teknis, karakter kerusakan yang ditemukan tidak koheren dengan teori maupun praktik rekayasa konstruksi. Aktivitas galian kabel tidak menyebabkan galvanisasi terkelupas, tidak memicu korosi internal dalam hitungan bulan, dan tidak dapat menyebabkan beton mengalami retakan menyeluruh pada seluruh sisi pondasi.
Kerusakan tersebut umumnya lebih terkait pada mutu material yang tidak memenuhi spesifikasi, campuran beton yang tidak proporsional, atau pengawasan teknis yang lemah selama pelaksanaan dan serah terima pekerjaan.
Selain itu, pernyataan Dishub tersebut juga tidak didukung bukti empiris di lapangan. Tim PosPublik tidak menemukan bekas galian, penurunan struktur tanah, atau indikasi gangguan lingkungan lainnya yang dapat berimplikasi langsung terhadap stabilitas pondasi. Ketiadaan bukti ini memperlemah argumen yang disampaikan, sekaligus menimbulkan kesan bahwa penjelasan tersebut lebih bersifat defensif daripada informatif.
Lebih jauh, tanggapan Dishub tidak memberikan jawaban terhadap aspek-aspek substantif yang diajukan PosPublik, seperti rincian RAB per unit, identitas pelaksana dan konsultan pengawas, dokumentasi uji mutu, status retensi pemeliharaan, serta kesediaan membuka dokumen kontrak dan as built drawing.
Padahal, dalam kerangka transparansi dan akuntabilitas publik, informasi tersebut merupakan elemen penting untuk menilai apakah proses pembangunan telah berjalan sesuai standar teknis maupun ketentuan regulatif.
Ketika sebuah proyek bernilai miliaran rupiah menunjukkan kegagalan struktural dalam waktu yang begitu singkat, wajar jika publik mempertanyakan efektivitas pengawasan pemerintah daerah dan kesesuaian pelaksanaan proyek dengan spesifikasi yang telah ditetapkan.
Dalam kajian tata kelola anggaran, kerusakan awal seperti ini biasanya dianggap sebagai indikator potensi ketidaksesuaian pekerjaan, inefisiensi, atau bahkan penyimpangan prosedural.
Oleh karena itu, pernyataan yang tidak sejalan dengan bukti lapangan justru memperlemah kepercayaan publik dan membuka ruang spekulasi mengenai kemungkinan adanya persoalan yang tidak diungkapkan secara transparan.
Dalam konteks inilah, jawaban Dishub bukan hanya tidak memadai, tetapi juga berpotensi menimbulkan persepsi bahwa instansi tersebut tidak sedang menjelaskan fakta—melainkan menghindari fakta.
Media PosPublik akan terus melanjutkan proses klarifikasi dan pendalaman informasi ini.
Dengan besarnya anggaran dan dampak publik yang ditimbulkan, evaluasi terhadap proyek ini harus dilakukan secara terbuka dan berdasar pada prinsip-prinsip transparansi, profesionalisme, serta integritas administrasi publik.
Pertanyaan mendasar yang hingga kini belum terjawab tetap sama: mengapa proyek bernilai puluhan miliar rupiah dapat mengalami kerusakan struktural dalam waktu kurang dari satu tahun, dan mengapa jawaban resmi pemerintah daerah tidak selaras dengan temuan faktual di lapangan?
Dedy
