![]() |
| Ilustrasi (PP) |
Langkah ini disebut sebagai bagian dari “reformasi tata kelola keuangan nasional” oleh Kementerian Keuangan, namun di lapangan justru berimbas pada menyempitnya ruang fiskal daerah dan lumpuhnya sejumlah program publik yang menyentuh langsung masyarakat kecil.
Sejak tahun anggaran 2025, gaji Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dikelola langsung oleh pusat. Artinya, sebagian Dana Alokasi Umum (DAU) yang dulu diterima daerah kini tidak lagi masuk ke kas pemerintah daerah. Dampaknya, banyak pemerintah daerah, termasuk Kabupaten Bekasi, kini mengeluh karena anggaran program sosial, infrastruktur ringan, dan bantuan masyarakat menjadi sangat terbatas.
Lebih jauh lagi, pemotongan TKD oleh pemerintah pusat—yang mencapai ratusan miliar rupiah di Kabupaten Bekasi—menambah tekanan berat terhadap APBD.
Langkah efisiensi ini memang dimaksudkan untuk menyehatkan fiskal nasional, namun di sisi lain menimbulkan kesan bahwa daerah sedang “dikerdilkan” dalam hal kewenangan dan kemampuan membiayai urusan pemerintahan sendiri.
“Kemandirian daerah tidak bisa dibangun dengan cara memangkas ruang geraknya. Jika daerah dipaksa berhemat tanpa diberikan alternatif pendapatan baru, maka yang terkorbankan adalah pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat,” tegas Arnold S., Ketua LSM MASTER kepada awak Media melalui keterangan tertulis di Bekasi.
Kondisi ini juga memunculkan keresahan sosial di tingkat bawah. Banyak kelompok masyarakat mempertanyakan hilangnya beberapa program bantuan dan kegiatan rutin yang sebelumnya menjadi andalan pemerintah daerah.
Ketika anggaran pusat tersentralisasi dan daerah kehilangan kemampuan fiskalnya, yang terdampak langsung justru masyarakat kecil, pelaku UMKM, dan kelompok rentan.
LSM MASTER menilai, pemerintah pusat perlu lebih transparan dalam menjelaskan arah realokasi dana hasil pemotongan TKD.
Jika efisiensi memang untuk kepentingan publik, maka publik berhak mengetahui ke mana dana tersebut dialihkan dan bagaimana manfaatnya bisa dirasakan di daerah.
Sebagai lembaga pengawasan kebijakan publik, LSM MASTER mendesak pemerintah pusat dan daerah duduk bersama untuk merumuskan skema baru yang lebih adil dalam pembagian anggaran.
Desentralisasi sejati tidak cukup diatur dalam undang-undang—ia harus diwujudkan dalam bentuk keuangan yang mandiri dan berpihak pada kepentingan rakyat.
“Daerah bukan anak bawang dalam sistem pemerintahan. Jika keuangan mereka terus dikendalikan dari pusat, maka otonomi hanya tinggal slogan.” pungkas Arnold S.
