Kementerian ATR/BPN Diduga Keras Menghambat Eksekusi Dana Konsinyasi

Kementerian ATR/BPN Diduga Keras Menghambat Eksekusi Dana Konsinyasi

Selasa, 18 Januari 2022, 6:37:00 PM
Warga Desa Jatikarya, Kec, Jakasempurna, Kota Bekasi, Aksi Unjuk Rasa Menuntut Perhatian Serius dari Presiden RI, Ir. Joko Widodo

Kota Bekasi, pospublik.co.id - Putusan PK ke-II, No.815/PK/PDT/2018 tertanggal 19 Desember 2019 telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht). Dalam Putusan  PK ke-II ini dinyatakan, lahan sengketa di Desa Jatikarya, Kec. Jakasampurna, Kota Bekasi yang dibebaskan KemenPUPera menjadi ruas jln Tol JORR yang menghubungkan  Cimanggis-Cibitung I Kab. Bekasi itu adalah milik ahli waris Candu bin Godo dkk.


Berdasarkan putusan Pengadilan, lahan sengketa tersebut adalah milik Warga Desa Jatikarya, Kec. Jakasampurna, Kota Bekasi, dan putusan tersebut telah Berkekuatan Hukum Tetap (Inkracht). Namun oleh Pengadilan tingkat pertama (PN Bekasi Kota) tak kunjung mengeksekusi dana konsinyasi yang dititp KemenPUPera di Kas Kepanuteraan Pengadilan tersebut.

Eksekusi berupa penyerahan dana konsinyasi tersebut kepada prinsipal (warga masyarakat yang berhak/ahli waris Candu bin Godo dkk) hanya menunggu Surat Rekomendasi dari ATR/BPN Kota Bekasi. Namun Rekomendasi itu tak kunjung diterbitkan ATR/BPN dan diserahkan ke Pengadilan Negeri Kota Bekasi.

Entah apa masalahnya sehingga Rekomendasi itu tak kunjung diterbitkan Kementerian ATR/BPN, warga masyarakat Jatikarya tidak paham, dan oleh kepentingan siapa, atau siapa dalang dibalik tindakan yang bermuara terhadap pelanggaran HAM tersebut, hingga kini belum ditemukan jawabannya. 

Padahal sesuai hasil wawancara wartawan dengan Kantor Hukum dan Advocat Aritonang SH, pengadaan Tanah untuk kepentingan umum harus tunduk dan patuh terhadap UU Nomor:2 tahun 2012, dan Peraturan Pemerintah Nomor:19/2021, serta Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor:19/2021 tentang pembebasan lahan untuk kepentingan umum. 

Menurut Aritonang, Jika tidak memedomani UU dan PP serta Permen ATR/BPN tersebut, maka proses pengadaan tanah akan berpotensi terjadi pelanggaran HAM yang diatur dalam pasal 28 UUD RI tahun 1945.

Beruta Terkait:

https://www.pospublik.co.id/2022/01/mafia-tanah-di-kementerian-atrbpn-ri.html

Dalam hal pengadaan tanah di Negeri ini lanjut dia, sering terjadi sengketa kepemilikan atas objek. Jika terjadi hal yang demikian, maka untuk menghindari terjadi pelanggaran HAM, dana ganti rugi wajib dititipkan Pemerintah ke Kas Kepaniteraan Pengadilan Negeri agar tidak menghambat jalannya roda pembangunan.

Kemudian ujar dia, Dana konsinyasi tersebut akan dapat dieksekusi dengan menyerahkan kepada yang berhak berdasarkan hasil putusan sengketa lembaga peradilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Permohonannya dilengkapi surat pengantar dari ketua tim pengadaan tanah, yakni: Pejabat ATR/BPN.

Jika tidak manud terhadap payung hukum tersebut diatas, maka tidak perlu heran akan terjadi pelanggaran HAM seperti yang saat ini dialami warga masyarakat di Desa Jatikarya, Kecamatan Jatisampurna, Kota Bekasi, Jawa Barat. Lahan yang berlokasi di kota penyangga ibukota ini telah dibangun ruas jalan Tol Cimanggis-Cibitung I Kab. Bekasi, dan saat ini sudah beroperasi secara komersil.

Bahkan ujar Aritonang, jika dihitung provit yang masuk ke Kas pengelola Jln Tol tersebut setiap hari, mungkin sudah lebih dari nilai transaksi jual beli (harga) lahan milik warga masyarakat yang dibangun jln. Tol tersebut. Namun persoalan ganti rugi lahan milik warga ini tidak kunjung tuntas.

Lahan Warga Jatikarya yang Telah Dibangun Jln Tol, Tetapi Dana Konsinyasi di Kas Kepaniteraan PN Kota Bekasi Belum Dieksekusi Terhalang Rekom Kementerian ATR/BPN

Padahal dana konsinyasi sudah sejak tahun 2017 ditempatkan di Kas Kepaniteraan PN Kota Bekasi berdasarkan penetapan Ketua PN No:04/Pdt.P.Cons/2016/PN.Bks tanggal 21 Desember 2016. Masalahnya tinggal Surat Rekomendasi dari Pejabat ATR/BPN tidak kunjung diterbitkan, sehingga berpotensi merusak  integritas lembaga peradilan. 

Dengan itikad baik pihak pengguna lahan (KemenPUPera) telah menitipkan dana konsinyasi tersebut, maka hak atas kepemilikan tanah milik warga dengan sendirinya menjadi hapus. Bukti kepemilikan menjadi gugur, dan penguasaan berpindah kepada Negara sesuai Pasal 43 UU Nomor:2 tahun 2012.

"Dengan demikian, tanah yang sudah dititipkan dana konsinyasi tidak diperlukan pembatalan sertifikat dan warkah lainnya, karena hak tanah sudah hapus dengan sendirnya setelah ganti rugi (konsinyasi) dititipkan pada kas Kepaniteraan Pengadilan Negeri Bekasi," demikian dikutip dari hasil wawancara dengan Aritonang pada Kantor Hukum dan Advocat Aritonang SH dan Rekan berikut keterangan warga Jatikarya, dan ahli waris.

Dalam perkara ini ujar warga, terdapat 14 pihak termohon konsinyasi dengan dalam 7 perkara perdata, dan satu (1) Perkara TUN. Putusan PTUN menyatakan BPN bersalah dalam menerbitkan sertifikat SHP no.1/Jatikarya itu, dan memerintahkan pembatalan Sertifikat Hak Pakai (SHP) No.1/Jatikarya tersebut. 

Dari keseluruhan putusan perdata tersebut, tidak satupun menyatakan SHP No.1/Jatikarya itu memiliki kekuatan hukum. Dan tidak satu pun putusan yang menyebut tanah itu milik kementerian atau Asset Negara. Sehingga, sesuai permen ATR/BPN nomor:21 tahun 2020, SHP No.1/Jatikarya wajib dibatalkan.

Pada saat di-konsinyasi, dari 7 perkara perdata lanjut warga, tersisa 3 perkara pada tingkat Peninjauan Kembali (PK) di MA. Karena adanya pertentangan dalam 3 putusan tersebut, oleh salah satu pihak mengajukan PK ke-II dengan register perkara No.815/PK/PDT/2018, yang diputus pada tanggal 19 Desember 2019. Dengan terbitnya Putusan PK ke-II, maka berakhir sudah semua sengketa kepemilikan atas lahan tersebut. 

Putusan PK ke-II ini menyatakan putusan PK (I) No.218/PK/Pdt/2008 dan putusan PK lainnya yang bertentangan dengan putusan PK ke-II gugur dengan sendirinya, dan serta merta putusan PK ke-II tersebut telah inkracht. 

"Berdasarkan putusan PK ke-II tersebut, seharusnya para penggugat, yakni: Warga masyarakat Jatikarya (Candu bin Godo, dkk.) adalah pemilik sah objek sengketa. Termasuk lahan tanah seluas 4,2 ha yang sudah dibangun jalan tol wajib diserahkan ganti rugi kepada warga masyarakat yang berhak"

Terungkap dipersidangan, sertifikat SHP No.1/Jatikarya yang diterbitkan sejak tahun 1992 tidak berdasarkan hukum. Dengan demikian, sejak 29 tahun silam telah terjadi perampasan atas lahan warga tersebut.

Untuk kemudian Pengadaan Tanah jalan Tol seluas 4,2 ha, karena sengketa kepemilikan telah incracht pada tahun 2019, dan ATR/BPN selaku Panitia Pengadaan Tanah tidak kunjung menerbitkan rekomendasi sebagai syarat penyerahan dana konsinyasi, maka fenomena ini telah bermuara terhadap pelanggaran HAM.

Padahal, surat Rekomendasi tersebut sudah dimohonkan dua (2) kali dalam tenggat waktu 2 tahun. Baik kepada kantor ATR/BPN Kota Bekasi, maupun kepada menteri ATR/BPN Sofyan Djalil.

Menurut ahli waris pemohon ganti rugi, Candu bin Godo, Menteri ATR/BPN, Sofyan Djalil tidak menggubris permohonan penerbitan Rekom tersebut. Menteri ATR/BPN, Sofyan Djalil dan Dirjennya tidak mengindahkan Putusan MA yang sudah incracht.

Perbuatan Menteri ATR/BPN dan jajarannya menurut warga jelas kontraproduktif dengan tujuan UU Cipta Kerja. 

Berdasarkan  UU No.2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah tersebut, Menteri ATR/BPN, Sofyan Djalil adalah pihak yang paling bertanggungjawab terhadap dugaan perampasan tanah warga hingga melanggar HAM karena dengan sengaja menghambat proses pembayaran dana ganti rugi yang telah dititipkan di kas Kepaniteraan PN Kota Bekasi. 

Menjadi pertanyaan para ahli waris, sampai kapan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap itu dibiarkan Pemerintah melanggar HAM. Apakah oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) juga akan membiarkan perampasan tanah warga ini menjadi pelanggaran HAM berat?

Mereka memohon perhatian dari Presiden RI Jokowi untuk mengevaluasi kinerja Kementerian ATR/BPN yang belakangan diketahui banyak oknum mafia tanahnya. 

Menurut pemohon eksekusi (para ahli waris), Kementerian ATR/BPN memberi 2 alasan untuk tidak menerbitkan Surat Rekomendasi tersebut:

  • Pertama: Tanah di Jatikarya tersebut adalah Asset Negara. 
  • Kedua:Masih ada perkara lain atas objek yang dimohonkan

Terhadap dua alasan itu, para ahli waris menganggap hanya mengada-ngada dan tidak berdasarkan fakta hukum. "Putusan PK ke-II jelas-jelas sudah inkracht, lalu perkara mana maksudnya, tidak jelas," ujar warga mencibir. (MA) 

Kutipan Singkat Putusan PK Ke-II

Bagan Perjalanan Perkara Sengketa Hingga Terbit PK Ke-II



TerPopuler