Majelis Hakim PN Kelas I-A Khusus Kota Bekasi Dilapor ke Bawas MARI

Majelis Hakim PN Kelas I-A Khusus Kota Bekasi Dilapor ke Bawas MARI

Selasa, 23 November 2021, 2:08:00 AM
Kuasa Hukum Penggugat, Raja Tahan Panjaitan, SH Sedang Menyerahkan Laporan ke Bawas Mari

Kota Bekasi, pospublik.co.id - Penggugat JS dalam perkara perceraian, melalui kuasa hukumnya, Raja Tahan Panjaitan, SH dan R. Wijaya S, SH melaporkan Majelis hakim Pengadilan Negeri Kelas 1-A Khusus Kota Bekasi yang memeriksa dan mengadili perkara Nomor:564/Pdt.G/2020/PN.Bks ke Mahkamah Agung RI dan kepada Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI, dan ke Komisi Yudisial RI.

 

Menurut kuasa hukum penggugat, majelis hakim yang diketuai Ranto Indra Karta Pasaribu, SH. MH dengan hakim anggota Abdul Rofiq, SH. MH dan Rahman Rajagukguk, SH. M.Hum dilaporkan ke Bawas MA karena menyebut gugatan penggugat premature dan tidak dapat diterima dengan alasan Penggugat dan Tergugat adalah orang Batak, jadi harus melibatkan lembaga adat batak yang disebut DALIHAN NATOLU untuk menyelesaikan masalah perceraian.

 

Putusan majelis hakim tersebut menurut kuasa hukum penggugat dari Law Office Raja Tahan Panjaitan, SH & Partners beralamat di Jalan Paus Kav. B-I No.90 Rawamangun, Jakarta Timur, hanya mengada-ngada karena mendalilkan norma-norma adat batak yaitu DALIHAN NATOLU, bukan berdasarkan ketentuan UU RI No. 01 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 09 Tahun 1975.

Berita Terkait:

https://www.pospublik.co.id/2021/11/raja-tahan-sh-majelis-hakim-arahkan-uu.html


  

Majelis hakim yang memeriksa dan menangani perkara aqou dalam putusannya ujar Raja Tahan, telah melakukan “Abuse Of Power”  (Penyalahgunaan kekuasaan dengan menyimpangkan hukum dan melanggar etik). 

 

Sebelum pemeriksaan pokok perkara dilakukan ujar Raja Tahan, upaya mediasi sesuai PERMA Nomor: 01 Tahun 2016 telah terlebih dahulu ditempuh, namun mengalami jalan buntu atau tidak berhasil (deadlock). Kemudian, selama pemeriksaan perkara, majelis hakim tidak profesioanal dan mengabaikan azas peradilan yang baik, yakni: azas pemeriksaan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan, sebagaimana amanat pasal 2 (dua) ayat 4 (empat) UU RI No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

 

Majelis hakim menurut Raja terkesan mengikuti permintaan Tergugat untuk menunda-nunda pemeriksaan saksi Penggugat yang dihadirkan dari Pekan Baru, RIAU, Sumatera. 

 

Raja Tahan menyebut majelis hakim juga telah melanggar asas-asas pemeriksaan hukum perdata yakni: dalam pemeriksaan perkara perdata, majelis bersifat pasif mengawasi jalannya persidangan. Artinya: bahwa hakim hanya bersifat menunggu pembuktian dari para pihak berperkara yang bertujuan untuk menghindari adanya pertimbangan hukum bersifat subyektif dan harus berdasar bukti dan fakta-fakta di persidangan yang diajukan oleh para pihak.

 Berita Terkait:

https://www.pospublik.co.id/2021/11/raja-tahan-panjaitan-sh-penemuan-hukum.html

Namun dalam dalam perkara ini lanjut Raja, majelis hakim telah melanggar azas tersebut, dimana dalam pertimbagan hukumnya menyebut bahwa perceraian adalah ULTIMUN REMEDIUM, sehingga gugatan Penggugat disebut premature dengan pertimbangan yang tidak diminta para pihak.

 

Menurut kuasa hukum penggugat, seandainya quot non benar Penggugat sebelum mengajukan gugatan cerai harus terlebih dahulu melalui lembaga Adat Batak DALIHAN NATOLU seperti dalam pertimbangan hukum majelis hakim, Penggugat dan Tergugat tentu harus dinyatakan terlebih dahulu telah sah menikah secara Adat Batak. Namun dalam proses pemeriksaan diperoleh fakta bahwa pernikahan Penggugat dan Tergugat belum diakui secara Adat Batak. Maka oleh karenanya, dalil pertimbangan majelis hakim tidak mencerminkan kepastian hukum bagi para pencari keadilan khususnya buat orang Batak.  

 

Pertimbangan majelis hakim yang memeriksa perkara ini ujar Raja, nyata bertentangan dengan undang-undang No.01 Tahun 1974 dan PP No.09 Tahun 1975. Dimana dalam ketentuan undang-undang tersebut sangat jelas dan terang dinyatakan tentang syarat-syarat diajukannya gugatan perceraian. Dalam ketentuan UU RI No. 01 Tahun 1974 maupun PP No. 09 Tahun 1975 tidak ada yang mengharuskan sebelum diajukan gugatan perceraian ke pengadilan harus terlebih dahulu melalui Lembaga Adat Batak DALIHAN NATOLU.

 

Raja Tahan Panjaitan balik bertanya, seandainya undang-undang mengharuskan sebelum diajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Negeri, harus terlebih dahulu melalui Lembaga Adat Batak Dalihan Natolu, lalu dimana alamat Lembaga Adat Batak Dalihan Natolu tersebut, apa saja kewenanganya, apa yang menjadi dasar hukum berdirinya Lembaga Adat Batak Dalihan Natolu tersebut, dan siapa Ketua dan pengurusnya. 

 

Pertimbangan majelis hakim yang menjadikan Lembaga Adat Batak Dalihan Natolu sebagai dasar mengadili perkara a quo tegas Raja, menunjukkan ketidak profesionalan majelis hakim dalam memeriksa dan memutus perkara a quo. Putusan ini akan menimbulkan kegaduhan ditengah masyarakat, karena mengesampingkan hukum positif dengan hukum adat. “Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai dasar diajukannya gugatan perceraian yaitu UU RI No.01 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan PP No.09 Tahun 1975, menjadi tidak jelas,” ujar Raja.

 

Penerapan asas ULTIMUN REMEDIUM oleh majelis hakim dalam perkara ini lanjut Raja sangat keliru. Karena penerapan azas Ultimun Remedium hanya dapat dilakukan dalam perkara pidana bukan dalam perkara perdata. Azas-azas hukum dalam perkara pidana dan perkara perdata sangat jelas berbeda. Dalam perkara pidana, hakim harus aktif menggali kebenaran materil, sedangkan dalam perkara perdata, hakim bersifat menunggu para pihak membuktikan gugatannya, baru kemudian hakim memutus secara obyektif sesuai bukti dan fakta-fakta yang terungkap di persidangan.

 

Dengan penerapan azas ULTIMUN REMEDIUM oleh majelis hakim dalam perkara ini ujar Raja, menunjukkan bahwa majelis hakim telah melakukan perbuatan Abuse Of Power, karena telah mempertimbangkan hal-hal diluar yang telah dituntut oleh para pihak. Oleh sebab itu lanjut Raja, agar kedepan tidak lagi terjadi hal serupa, maka perkara ini dilaporkan ke MA-RI, ke Bawas MA-RI, dan ke Komisi Yudisial untuk dieksaminasi. (MA) 

 

 

 


TerPopuler