Gugatan Cerai Prematur Karena Diajukan Sebelum Melalui Lembaga Adat

Gugatan Cerai Prematur Karena Diajukan Sebelum Melalui Lembaga Adat

Selasa, 09 November 2021, 3:00:00 AM
Ket Foto: Raja Tahan Panjaitan, SH (Duduk Di Bangku Paling Depan) Menghadap Meja Pelayanan PN Kota Bekasi, Mengambil Salinan Putusan Perkara Nomor:564/Pdt.G/2020/PN.Bks
 
Bekasi, pospublik.co.idPernikahan JS dengan E, Br.T yang diberkati Pastor Johanes Simamora, OFMCap di Gereja Katolik St. Laurentius  Brindisi, Pematang Siantar, Sumatera Utara, tanggal 16 Juli 2002 yang kemudian dicatatkan dalam Akta Perkawinan Nomor:327-WK-21102014-0025 tanggal 21 Oktober 2014, dikarunia 3 anak laki-laki. Tetapi biduk rumah tangga itu harus berujung gugatan cerai di Pengadilan Negeri (PN) Kota Bekasi.

Warga Jln. Bambu Kuning IX, KP Sepatan, RT/RW.003/002, Kel. Sepanjang Jaya, Kec. Rawalumbu, Kota Bekasi ini mengaku terpaksa menggugat cerai sang istri, E, Br. Tbn di Pengadilan Negeri Kota Bekasi, karena sang istri tidak henti-hentinya bikin ulah sejak pernikahannya baru dikaruniai 1 orang anak bernama EJ,S yang lahir di Kota Pematang Siantar, 14 Mei 2003.


Dalam gugatan penggugat dikatakan, tuntutan cerai menjadi senjata pamungkas oleh tergugat setiap ada yang kurang berkenan dihati penggugat. Tuntutan itu awalnya tidak ditanggapi secara serius. Tahun 2003, penggugat masih membawa keluarga kecilnya ke rumah orangtua kandung penggugat di Pekanbaru RIAU untuk merayakan tahun baru. Oleh orangtua penggugat masih menasehati agar rumah tangga penggugat dan tergugat jangan sampai bercerai demi cucu sekaligus menjaga nama baik keluarga.
Berita Terkait:

Namun nasehat orangtuanya menurut penggugat, oleh tergugat hanya masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Sepulang dari RIAU ke Kota Pematang Siantar, tuntutan cerai selalu menjadi senjata pamungkas tergugat setiap ada yang kurang berkenan dihatinya. Namun penggugat tetap bersabar dan berusaha membujuk tergugat.


Tahun 2004 sebagaimana dalam gugatan, atas kesepakatan bersama, pasutri ini memilih hijrah ke Bekasi Jawa Barat dengan harapan kondisi rumah tangga bisa berobah lebih baik. Namun, selang beberapa bulan tinggal di Bekasi, tergugat (sang istri) kembali berulah menuntut cerai. Ketika hamil tua mengandung anak kedua, tuntutan cerai semakin menjadi-jadi. Tetapi oleh penggugat tidak menanggapi serius karena menganggap hanya bawaan bayi dalam kandungan sang istri (tergugat).


Selama bertahun-tahun tinggal di Bekasi, tak terhitung berapa kali tuntutan cerai dilontarkan tergugat, namun penggugat tidak ambil hati dan tetap bersabar. Tetapi ketika orangtua penggugat datang dari Pekanbaru RIAU November 2019 niat melaksanakan acara adat pernikahan kepada keluarga tergugat, namun tidak dihargai tergugat, bahkan tergugat sengaja menciptakan keributan meminta rencana pesta adat dibatalkan, dan pernikahannya diceraikan, penggugat pun mulai pikir panjang.


Sikap tergugat yang terus ngotot minta cerai dan membatalkan rencana pesta adat membuat orangtua penggugat sedih dan menangis hingga akhirnya pulang ke Pekanbaru RIAU. Sukses membatalkan rencana pesta adat pernikahan, awal tahun 2020, tergugat kembali bikin masalah dengan mengusir penggugat dan anak kandungnya dari rumah mereka di Jln. Bambu Kuning IX, Sepanjang Jaya, Rawa Lumbu, Kota Bekasi, dengan alasan rumah tersebut adalah warisan tergugat.

Berita Terkait:

https://www.pospublik.co.id/2021/11/raja-tahan-sh-majelis-hakim-arahkan-uu.html

Karena kedua orangtuanya terus-menerus bertengkar, putra semata wayang karena ditinggal mati dua adiknya, EJ.S minta pindah sekolah dari Bekasi ke Pekanbaru RIAU ikut Neneknya. Penggugat dan putra kandungnya terpaksa mengontrak rumah di Pekan Baru, meninggalkan istri sendirian.


Juli 2020, tergugat datang ke Pekanbaru RIAU minta kepada orangtua dan paman penggugat agar pernikahannya diceraikan. Walau kedua orangtua tersebut berusaha menasehati, namun tergugat tetap ngotot bercerai.


Awal bulan Oktober 2020, ketika anak sematawayangnya bersama suami (penggugat) datang dari Pekanbaru RIAU ingin temu kangen dengan ibukandungnya di Jln. Bambu Kuning Bekasi, oleh tergugat tidak berkenan menerima. Tengah malam tergugat kembali mengusir penggugat dan putranya. Penggugat dan putranya pun akhirnya pulang esok harinya ke Pekanbaru RIAU tanpa kasih sayang ibu kandung.


November 2020, tergugat kembali datang di Pekanbaru RIAU menemui penggugat minta tanda tangan diatas materai yang isinya berbunyi, sudah tidak ada lagi hubungan pengugat dengan tergugat, dan tidak keberatan untuk menjual rumah di Jln. Bambu Kuning, Kota Bekasi.


Melihat kelakuan tergugat yang tidak ada henti-hentinya bikin masalah, ditambah kekecewaan ibu kandung penggugat hingga meneteskan air mata karena tergugat membatalkan rencana pesta adat, dan minta cerai, penggugat pun memutuskan untuk mengikuti keinginan tergugat dengan mendaftarkan gugatan cerai di PN Kota Bekasi, Desember 2020.


Namun, gugatan cerai yang diajukan sang suami (penggugat) tersebut, oleh majelis hakim yang diketuai, Ranto Indra Karta Pasaribu, dibantu hakim anggota, Rahman Rajagukguk dan Abdul Rofiq yang memeriksa dan mengadili perkara Nomor:564/Pdt.G/2020/PN.Bks ini, menolak gugatan penggugat dengan salah satu pertimbangan “Gugatan Penggugat Prematur Karena Diajukan Sebelum Melalui Lembaga Adat Batak Dalihan Natolu”.


Atas pertimbangan majelis hakim yang dibacakan Kamis (4/11/2021) tersebut, penggugat melalui kuasa hukumnya, Raja Tahan Panjaitan, SH dan R Wijaya S, SH, dari Law Office Raja Tahan Panjaitan, SH & Partners, beralamat di Jln. Paus Kav.BI No.90 Rawamangun, Kec. Pulogadung, Jakarta Timur, menganggap pertimbangan majelis hakim itu ngaur dan tidak memiliki dasar hukum.


Oleh karena pertimbangan majelis hakim dalam perkara ini dinilai menyesatkan ujar Raja mewakili kliennya, dia akan melakukan upaya hukum banding, sekaligus akan melaporkan perkara tersebut ke MARI agar dieksaminasi. Jika ternyata ditemukan pelanggaran etik hakim, supaya dijatuhkan sanksi sesuai UU yang berlaku. (MA)


TerPopuler