![]() |
Ilustrasi (Pos Publik) |
Bekasi, pospublik.co.id, Jumat, 3 Oktober 2025 – Penanganan Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) di Kabupaten Bekasi menimbulkan pertanyaan serius mengenai efektivitas kebijakan pemerintah daerah dalam melindungi anak-anak dan kelompok rentan dari praktik eksploitasi sosial.
Setelah Satpol PP Kabupaten Bekasi menegaskan bahwa peran mereka terbatas pada kegiatan penertiban dan penyerahan PPKS kepada Dinas Sosial (Dinsos), proses rehabilitasi, dan tanggung jawab implementasi program rehabilitasi sepenuhnya berada pada Dinsos.
Dalam pertemuan dengan wartawan pospublik.co.id pada tanggal 2 Oktober 2025, Sekretaris Dinsos Kabupaten Bekasi, Daryono, menyatakan bahwa akar permasalahan PPKS bersumber pada kondisi kemiskinan. Menurutnya, selama ini terdapat koordinasi dengan Satpol PP, di mana Satpol PP melakukan razia dan menyerahkan PPKS ke Dinsos, selanjutnya PPKS dirujuk ke panti sosial provinsi.
Namun, apabila kuota atau kapasitas panti sosial provinsi penuh, penanganan hanya terbatas pada pembuatan surat perjanjian yang ditandatangani PPKS untuk tidak mengulangi perbuatannya. Sayangnya, langkah ini tidak disertai tindak lanjut yang konkret maupun solusi nyata mengenai bagaimana para PPKS dapat melanjutkan kehidupan mereka.
Terkait strategi preventif, Sekretaris Dinsos mengakui bahwa pihaknya belum memiliki program atau mekanisme khusus untuk mencegah PPKS kembali melakukan aktivitas di jalanan. Keterbatasan ini disebabkan oleh kendala kewenangan dan alokasi anggaran.
Realitas anggaran tahun 2024 senilai Rp 4,25 miliar, dengan realisasi 91 persen, sebagian besar digunakan untuk bantuan sosial berbasis uang tunai dan penyaluran bantuan sosial kepada panti-panti penitipan. Hal ini menimbulkan pertanyaan terkait proporsi alokasi yang benar-benar digunakan untuk rehabilitasi langsung PPKS di lapangan.
Di penghujung pertemuan, Sekretaris Dinsos bahkan menyarankan agar pemberitaan mengenai permasalahan PPKS “cukup sampai di sini”, disertai tawaran kompensasi simbolis berupa "uang rokok", agar isu tersebut tidak diperluas dan dianggap sebagai "diskusi saja", hal ini memicu diskusi mengenai prinsip transparansi publik.
Sementara itu, fenomena di lapangan tetap memprihatinkan: balita digendong untuk mengemis, anak penyandang disabilitas dimanfaatkan demi belas kasihan, serta kelompok anak muda mengamen di jalanan. Kondisi ini memperkuat kesan bahwa program yang dijalankan masih bersifat formalitas administratif, tanpa memberikan perlindungan nyata bagi kelompok rentan.
Analisis publik menunjukkan bahwa efektivitas penanganan PPKS memerlukan koordinasi yang lebih sistematis antara Satpol PP, Dinsos, dan aparat hukum, serta implementasi kebijakan berbasis bukti untuk mencegah eksploitasi dan melindungi hak-hak anak. Transparansi penggunaan anggaran publik dan akuntabilitas program rehabilitasi menjadi aspek krusial yang harus diperhatikan agar intervensi pemerintah memiliki dampak sosial yang nyata.
(Redaksi)