![]() |
Ilustrasi (doc.net) |
Bekasi, pospublik.co.id – Maraknya pengemis, anak jalanan, dan eksploitasi anak di Kabupaten Bekasi kembali memicu pertanyaan serius: apakah pemerintah daerah benar-benar serius melindungi anak-anak dari praktik Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)?
Nur Arafat, Plt. Kepala Seksi Pengawasan dan Penindakan Satpol PP Kabupaten Bekasi, menegaskan bahwa tugas Satpol PP hanya sebatas penangkapan PMKS dan menyerahkan mereka ke Dinas Sosial (Dinsos) untuk program rehabilitasi.
“Tugas kami hanya menangkap lalu serahkan ke Dinas Sosial. Setelah itu, Dinsos yang punya kewenangan agar hal ini tidak terjadi lagi,” ujarnya.
Namun fakta di lapangan menunjukkan kegagalan sistemik. Jawaban resmi Dinsos, tertuang dalam surat nomor 400/94.2/2806/Dinsos/2025 tertanggal 23 September 2025, menekankan program rehabilitasi berbasis komunitas, assessment sosial, pemulihan berbasis keluarga, dan layanan rujukan ke panti sosial. Meski anggaran 2024 mencapai Rp 4,25 miliar dengan realisasi 91 persen, jumlah PMKS di lapangan tetap tinggi. Ini menimbulkan kesan bahwa kegiatan rehabilitasi Dinsos lebih bersifat seremonial daripada berdampak nyata.
Febry, aktivis dari Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), menilai hal ini sebagai bukti pembiaran sistemik. “Eksploitasi anak bukan sekadar masalah sosial. Kalau Dinsos hanya berkilah soal kewenangan dan mekanisme koordinasi, berarti pemerintah daerah membiarkan anak-anak terus menjadi korban,” tegasnya.
Kini, Fenomena di lapangan semakin memprihatinkan. Balita digendong untuk mengemis, anak penyandang disabilitas dimanfaatkan demi belas kasihan, dan kelompok anak punk mengamen di perempatan jalan. Bahkan di sekitar kantor Pemkab Bekasi, pengemis terlihat bebas meminta uang, sementara pejabat terlihat memberikan uang secara langsung.
Nur Arafat menambahkan, efektivitas penanganan PMKS tidak akan maksimal tanpa kesadaran masyarakat. “Kalau kita tidak memilah dan masyarakat tidak sadar, kebaikan justru dimanfaatkan untuk eksploitasi,” katanya.
Publik kini menilai bahwa Satpol PP hanya menjalankan peran penangkap tanpa efek jera, sementara Dinsos terbatas pada kegiatan seremonial dan laporan administratif. Akibatnya, PMKS tetap berkeliaran, anak-anak terus menjadi korban, dan miliaran rupiah anggaran publik hilang tanpa menghasilkan perubahan.
Febry menegaskan, koordinasi efektif antara Satpol PP, Dinsos, dan aparat hukum mutlak diperlukan. “Selama Dinsos tidak mampu bertindak nyata, dan Satpol PP hanya menangkap tanpa efek jera, anak-anak tetap menderita. Ini bukan sekadar masalah sosial, tapi kejahatan serius yang harus dihentikan,” ujarnya.
Publik menuntut tindakan tegas agar program rehabilitasi sosial tidak lagi sekadar seremonial, dan agar PMKS di Kabupaten Bekasi tidak lagi bebas mengeksploitasi anak-anak dan warga rentan. Pemerintah daerah pun dituntut menunjukkan keseriusan, bukan sekadar menghabiskan anggaran untuk aktivitas simbolik.
(Redaksi)