Alasan JPU Salah Ketik Kata Kajari Manusiawi Sebagai Keterbatasan

Alasan JPU Salah Ketik Kata Kajari Manusiawi Sebagai Keterbatasan

Rabu, 30 April 2025, 3:32:00 AM

Kepala Kejaksaan Negeri Kota Bekasi, Imran Yusuf (Foto/PP) 

Kota Bekasi, pospublik.co.id - Ada hal hal yang dapat dipahami sebagai keterbatasan seseorang dalam menjalankan tugas yang diembannya. Kekeliruan JPU dalam dakwaan yang menyatakan terdakwa tidak ditahan oleh penyidik, padahal faktanya ditahan merupakan salah satu keterbatasan yang memang tidak sepatutnya terjadi.


Hal ini disampaikan Kepala Kejaksaan Negeri Kota Bekasi, Imran Yusuf kepada pospublik.co.id, Rabu (30/4) di ruang kerjanya seputar dakwaan Jaksa Penuntut Umu (JPU) dari Kejari tersebut yang menyatakan terdakwa M. Syahrony Putra tidak ditahan penyidik kePolisian, padahal faktanya ditahan. 

Namun demikian kata Imran, peristiwa ini tentu akan menjadi bahan evaluasi kedepan seluruh jajarannya agar lebih cermat dan teliti dalam menjalankan tugas.

"Terimakasih kepada rekan-rekan wartawan dan LSM yang telah menyampaikan informasi ini kepada saya. Tentu akan menjadi bahan evaluasi kedepan," kata Imran Yusuf tampak serius. 

Terhadap pengakuan JPU salah ketik tersebut menurut Kajari Kota Bekasi ini, diberikan ruang terhadap terdakwa untuk mengajukan keberatan (eksepsi). Selanjutnya diserahkan kepada majelis hakim untuk mempertimbangkan eksepsi dan tanggapan JPU atas keberatan terdakwa tersebut. 

"Kami selalu berusaha yang terbaik dalam melaksanakan tugas. Tetapi sebagai manusi yang tak lepas dari keterbatasan, kami siap dikritik dan selalu menerima informasi dari wartawan, LSM maupun masyarakat," kata Kepala Kejaksaan Negeri Kota Bekasi ini.

Disinggung mengapa tidak dilakukan Restorative justice terhadap terdakwa M. Syahroni Putra yang dijerat passl 351 KUH Pidana tersebut, Imran menyarankan pertanyaan itu lebih tepat ditanyakan kepada penyidik kePolisian. 

"Mengenai Restorative justice baiknya ditanyakan ke penyidik. Kurang tepat jika kami yang menyarankan hal itu ke penyidik. Ada kesan bagi mereka kami menolak perkara, tidak baik," kata Imran.

Diberitakan sebelumnya, Penasehat hukum, Cupa Siregar mengatakan, JPU kembali menunjukkan ketidak cermatannya membaca eksepsi yang diajukan terdakwa.

Menurut Cupa, JPU tidak secara utuh membaca dan/atau menanggapi eksepsi terdakwa. JPU sama sekali tidak menanggapi dalil eksepsi tentang keberatan terhadap isi dakwaan yang menyebut terdakwa tidak ditahan oleh Penyidik kePolisian Resot Kota Bekasi, padahal Faktanya ditahan.

Berdasarkan Surat perintah penahanan Nomor:SP.Han/17/ll/RES.1.6/2025/Restro Bks Kota tertanggal 02 Febuari 2025 yang terlampir dalam dokumen perkara kata Cupa, tersangka ditahan sejak tanggal 2 Februari hingga 5 Maret 2025, dan oleh Penuntut Umum sejak tanggal 6 Maret hingga 25 Maret 2025.

Kemudian kata Cupa, JPU juga tidak cermat menguraikan definisi penganiayaan sebagaimana pasal 351 KUH Pidana yang menjerat kliennya (terdakwa).

Menurut Cupa, JPU seharusnya membedakan penganiayaan dengan kekerasan. Penganiayaan umumnya merujuk pada adanya akibat, luka pada korban. Sedangkan kekerasan tidak selalu harus mengakibatkan luka fisik, bisa juga psikis.

Unsur-unsur penganiayaan lanjut Cupa meliputi, pertama: Kesengajaan (perbuatan harus dilakukan dengan sengaja). Kedua, menimbulkan rasa sakit atau luka pada korban.

"Dalam dakwaan JPU, uraian peristiwa kejadian perkara ini tidak ditemukan unsur-unsur tersebut. Terdakwa tidak memukul, yang disebut korban tidak luka atau memar, dan tidak ada unsur sengaja menyakiti mertuanya. Lalu apakah itu dapat didefinisikan penganiayaan," kata cupa seraya menyebut dakwaan JPU tidan secara cermat menguraikan peristiwa yang sebenarnya hingga diterapkan pasal penganiayaan.  (M. Aritonang) 


















TerPopuler