Pengembalian Uang Suap Tidak Menghilangkan Pidananya

Pengembalian Uang Suap Tidak Menghilangkan Pidananya

Rabu, 26 Januari 2022, 9:25:00 PM
Ferry L Gaol, SH. MH
Oleh Ketua LBH Aura Keadilan: Ferry L. Gaol, SH. MH
Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (05/01/2022) terhadap Walikota Bekasi non aktif dan kawan-kawan, menjadi signal masifnya korupsi berjamaah di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi.

Signal tersebut diperkuat penangkapan sejumlah ASN dan pihak Swasta dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK hingga ditetapkan tersangka. Setelah dilakukan pengembangan pemeriksaan saksi, Ketua DPRD Kota Bekasi, Choiruman J Putro pun mengaku menerima uang Rp.200 juta dari tersangka RE, Wali Kota Bekasi non aktif.

Uang yang diterima melalui suruhan tersangka RE, oleh Choiruman J Putri langsung dikembalikan setelah RE terjaring OTT. Yang menjadi pertanyaan berbagai pihak, apakah pengembalian uang itu dapat menghapus tindak pidana korupsi yang telah terjadi tersebut?.

Untuk diketahui, tindak pidana korupsi (suap) yang diatur dalam, UU No.11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap (UU No.3 tahun 1980), Pasal 3 UU No.3 tahun 1980 ini berbunyi:

 
“Barang siapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000”

 

Pasal 3 UU No.3 tahun 1980 ini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “sesuatu atau janji” tidak selalu berupa uang atau barang. Dengan demikian, pasal tersebut menjelaskan bahwa “sesuatu” adalah termasuk juga uang. Selain itu, Pasal 11 UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juga mengatur:

 
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 dan paling banyak Rp.250.000.000,00 pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya”.

 
Dengan demikian, tindakan menerima uang suap tersebut walaupun kemudian dikembalikan setelah terjadi OTT  mengenai suap tersebut, tetap dapat dipidana karena telah menerima uang tersebut.

Sepertinya, penjelasan di atas sangat memungkin dikenakan terhadap Ketua DPRD Kota Bekasi yang sudah mengembalikan uang suap dari tersangka RE. Apalagi, pengembalian uang itu diakui dihadapan penyidik KPK.

Choiruman J Putro saat ini statusnya sebagai saksi tersangka RE dalam kapasitasnya selaku Pemangku Jabatan Ketua DPRD Kota Bekasi. Pengakuan
pengembalian uang suap ini lumayan lugu, karena mengatakan tidak mengerti mengapa Walikota Bekasi non aktif memberikan uang sebesar Rp.200 juta.

Menurut penulis, seorang pemangku jabatan publik seharusnya memahami UU Nomor:11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap pasal 3. Garis besarnya menyebutkan barang siapa menerima sesuatu atau janji sesuatu. Sedang penerima mengetahui pemberian dimaksud untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dalam tugasnya yang bertentangan dengan kewajibannya atau kewenangannya dihukum 3 Tahun penjara.

Dengan demikian, pengembalian uang yang dilakukan Ketua DPRD Kota Bekasi mungkin keterkaitan dengan Pasal 12c UU Tipikor. Dimana saksi berharap bila uang suap dikembalikan maka pidana akan hilang. Yang dimaksud oleh pasal 12c adalah bila hadiah yang diterima dalam list objek grativikasi dikembalikan dalam tempo 30 hari sejak diberikan dan tidak setelah terjadi penangkapan atas tersangka.

Bila dikaji, OTT dilakukan KPK pada tanggal 5 Januari 2022, sementara saksi selaku pemangku jabatan Ketua DPRD Kota Bekasi penerima suap baru mengembalikan uang tersebut pada tanggal 25 Januari 2022. Sehingga tidak masuk akal sehat kalau penerima tidak memahami pemberian uang dari tersangka OTT.

Dengan begitu, menurut penulis, Ketua DPRD sudah cukup alasan untuk dijadikan tersangka dari hasil pengembangan penyidikan tersebut. Apalagi, jika dikaitkan dengan persetujuan anggaran untuk pembiayaan pembebasan beberapa folder air di beberapa kecamatan di Kota Bekasi.

Ada juga beberapa masyarakat yang bertempat tinggal di Perumahan Dosen IKIP Kelurahan Jatikramat, Kecamatan Jatiasih, modusnya fasos milik perumahan tetapi ujuk-ujuk dibebaskan oleh Pemkot Bekasi kepada warga yang tidak jelas sebesar Rp.34 miliar.

Modus - modus seperti inilah yang dilakukan Pemkot Bekasi untuk meraup uang. Hanya bermodalkan putusan incracht dimana kita tidak paham penggugat siapa tergugat siapa. Jangan – jangan tanah negara yang disengketakan oleh pejabat Pemkot Bekasi.

Bila ditelusuri tanah yang diperuntukan untuk pembangunan Tol Becakayu dan Kota Bintang, di dalamnya ada tanah Binamarga maupun tanah milik rakyat. Modus biasanya tanah negara disertifikatkan, atau disengketakan setelah ada sertifikat dan Putusan Pengadilan lalu lahan tersebut dibebaskan Pemkot Bekasi, makanya KPK harus membersihkan sampai tuntas. Bila dipandang perlu, KPK merekomendir semua pejabat dilakukan Test Wawasan Kebangsaan.

Pengembangan penyidikan untuk menjerat para pelaku korupsi dalam UU Pencucian Uang, Penyidik KPK harus memanggil para Pejabat yang sudah purnabakti seperti Sekda pada waktu itu, karena waktu walikota menjabat pada periode pertama tidak terlepas dengan kegiatannya pada jabatan di periode kedua. Bahkan paket pasangannya merupakan mantan Kepala Dinas yang memahami pembangunan seluruh folder di Kota Bekasi. Oleh karena itu harus diusut semua, karena pelakunya bukan walikota saja. (***) 

TerPopuler