Oknum Hakim Banding Menolak Memperbaiki Putusan Pengadilan Tkt-I

Oknum Hakim Banding Menolak Memperbaiki Putusan Pengadilan Tkt-I

Rabu, 10 November 2021, 12:51:00 AM
Ketua LBH Aura Keadilan, Ferry L Gaol, SH. MH

Pada dasarnya, setiap putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan harus mewakili suara hati masyarakat pencari keadilan. Putusan hakim diperlukan berdasarkan hasil pemeriksaan perkara guna menyelesaikan perkara yang diajukan ke pengadilan.

Putusan hakim jangan sampai memperkeruh masalah atau bahkan menimbulkan kontroversi bagi masyarakat ataupun praktisi hukum lainnya. Hal yang mungkin dapat menyebabkan kontroversi pada putusan hakim tersebut karena hakim kurang menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan yang saat ini berkembang pesat seiring perubahan zaman, serta kurang telitinya hakim dalam memproses suatu perkara.

Putusan hakim merupakan gambaran proses kehidupan sosial sebagai bagian dari kontrol sosial. Putusan hakim juga merupakan penjelmaan dari hukum yang berlaku dan berguna bagi setiap individu, kelompok maupun negara.

Putusan hakim merupakan keseimbangan antara ketentuan hukum dengan kenyataan yang ada di lapangan. Gambaran kesadaran yang ideal antara hukum dan perubahan sosial. Memberikan manfaat bagi setiap orang yang berperkara. Dan, tidak menimbulkan konflik baru bagi para pihak berperkara dan masyarakat.

Putusan hakim merupakan produk dari proses persidangan di pengadilan. Sementara pengadilan merupakan tempat terakhir bagi pelarian para pencari keadilan, sehingga putusan hakim sudah sepatutnya dapat memenuhi tuntutan para pencari keadilan. Terhadap hal tersebut hakim dalam memutuskan perkara harus mencerminkan tiga unsur yakni keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.

Putusan hakim yang mencerminkan keadilan memang tidak mudah untuk dicarikan tolok ukur bagi pihak-pihak yang bersengketa. Karena adil bagi satu pihak belum tentu adil bagi pihak yang lain. Tugas hakim adalah menegakkan keadilan sesuai dengan irah-irah yang dibuat pada kepala putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Keadilan yang dimaksudkan dalam putusan hakim adalah yang tidak memihak terhadap salah satu pihak berperkara, mengakui adanya persamaan hak dan kewajiban kedua belah pihak. Dalam menjatuhkan putusan, hakim harus sesuai dengan peraturan yang ada sehingga putusan tersebut dapat sesuai dengan keadilan yang diinginkan oleh masyarakat.

Berikut ini adalah catatan kecil penulis saat melihat kinerja majelis hakim dalam memeriksa dan memutus perkara di Pengadilan Teluk Kuantan, Riau. Penulis mempertanyakan sistem penilaian majelis hakim Pengadilan Tinggi Pekanbaru memeriksa perkara banding, apakah diperiksa benar atau hanya copy paste?

Penulis menangani perkara Perdata (perceraian) di Pengadilan Teluk Kuantan. Tapi putusannya dinilai sangat memalukan, karena setahu penulis selama pemeriksaan pada sidang pengadilan Prinsipal tergugat adalah seorang lelaki, tetapi di dalam putusan, jenis kelamin tergugat berubah dari lelaki menjadi perempuan.

Dalam putusannya, majelis hakim menunjuk pasal yamg isinya berantakan tidak sesuai dengan pasal yang sebenarnya. Sebagai kuasa advokat dan pengacara, sebenarnya penulis adalah pihak yang diutungkan karena 4 (empat) poin dari tuntutan dikabulkan.

Tetapi penulis mengajukan banding, alasan banding adalah karena putusan itu dianggap tidak cermat dan tidak teliti dan demi masa depan hukum serta pembelajaran bagi hakim-hakim yang masih kurang integritasnya. Sekaligus agar perbuatan hakim yang asal-asalan memutus perkara, tidak terulang di kemudian hari.

Tetapi alangkah terkejutnya membaca putusan tingkat banding yang menolak untuk memperbaiki putusan tersebut. Hakim menguatkan putusan Pengadilan Negeri. Padahal, menurut hemat penulis perkara banding tersebut perlu diperiksa ulang oleh majelis hakim di tingkat banding.

Tetapi sayang, pola berpikir majelis tingkat banding jauh dari yang diharapkan, hanya mampu menanggapi dengan kalimat “MENGUATKAN”. Artinya, tingkat berfikirnya dan pertimbangannya masih di wilayah Pengadilan Negeri.

Untuk itu, Mahkamah Agung Republik Indonesia sudah sepatutnya melakukan meningkatkan pengawasan yang ketat terhadap hakim-hakim nakal, apalagi hakim “bodoh” yang tidak bisa membedakan alat kelamin para pihak yang disidangkan dan tidak bisa membedakan mana benar dan mana yang tidak benar.

Mahkamah Agung harus menyusun kembali dan merubah kalimat-kalimat dalam putusan yang seolah dapat membenarkan para majelis hakim untuk memutus suatu perkara seperti kalimat “MENGUATKAN”. Menurut penulis, majelis hakim itu harus inovatf dan jangan liner.

Majelis Hakim di tingkat banding itu diminta untuk memeriksa ulang suatu putusan perkara. Jangan putusannya sama dengan hasil pemikiran hakim tingkat pertama pengadilan negeri, itu namanya copypaste.

Mahkamah Agung itu harus benar-benar mananggapi semua laporan-laporan masyarakat. Penulis pernah membaca sebuah putusan perkara pidana Pengadilan Tinggi Pekanbaru. Majelis hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru memutus 1 tahun penjara terhadap terdakwa pengedar Narkoba.

Tetapi setelah jaksa penuntut umum banding dan banding dipimpin Hakim DR. Barita Lumban Gaol, SH MH, lalu putusan diperiksa benar sehingga diputus ulang menjadi 5 (lima) tahun dan identitas terdakwa semua jelas. Inilah hakim yang benar, hakim seperti ini harus diapresiasi untuk diangkat menjadi Hakim Agung. Jadi penulis berharap Mahkamah Agung harus cepat berbenah demi terwujudnya keadilan bagi para pencari keadilan. (*)

(Penulis, Ketua LBH Aura Keadilan, Ferry L Gaol, SH. MH) 

TerPopuler