GUGATAN PERCERAIAN dengan ALAMAT "GHAIB"

GUGATAN PERCERAIAN dengan ALAMAT "GHAIB"

Rabu, 10 November 2021, 11:26:00 PM

 

Ketua LBH Aura Keadilan, Ferry L Gaol, SH. MH

Oleh Ketua LBH Aura Keadilan:
Ferry L Gaol, SH. MH
DALAM memutus suatu perkara, seorang hakim tidak hanya berdasarkan bukti-bukti yang ada, tetapi juga didasari keyakinannya sebagai seorang hakim. Namun, putusan hakim juga sering dinilai tidak adil dan dianggap lemah, apabila hanya berdasarkan keyakinan hakim itu sendiri.

Dalam perkara gugatan perceraian misalnya, hakim pengadilan yang memeriksa dan mengadili harus diaudit keyakinannya agar lebih hati-hati dan teliti membuat pertimbangan hukum. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah hakim itu sudah bertindak jujur, adil dan tidak memihak satu sama lainnya.

Catatan penulis, kasus perceraian di Pengadilan Agama maupun di Pengadilan Negeri saat ini meningkat signifikan, pengadilan dihadapkan pada pilihan sulit dalam memutus perkara gugatan perceraian, karena harus memperimbangkanberbagai aspek, terutama posisi sibuah hati hasil perkawinan tersebut. 

Penulis pernah melakukan safari ke beberapa Pengadilan Agama, betapa kagetnya melihat situasi. Pengadilan bagaikan pasar pagi, karena banyaknya pasangan suami isteri yang diperiksa dan memohon putusan pengadilan untuk bercerai.

Berbagai alasan perceraian diajukan. Herannya lagi, bila diperhatikan seakan alasan gugatan perceraian sudah ada format baku. Seperti tidak memenuhi nafkah dan kekerasan dalam rumah tangga.

Pengacara sepertinya sudah ada yang spesialis mengerjakan urusan perceraian. Berbagai tawaran kemudahan disajikan oleh para pengacara di Pengadilan Agama. Seperti jaminan hanya dengan sekali sidang, sudah dapat diputus.

Kondisi ini sangat memprihatinkan, dimana amanat Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 mengatakan, tujuan perkawinan adalah menuju perkawinan shakinah, mawaddah, arrahma sudah terlihat bergeser.

Fenomena ini harus segera ada yang menangani, dan peran beberapa lembaga harusnya peka melihatnya. Pengadilan Agama seakan dijadikan Lembaga Perijinan Perceraian (LPP). Tidak lagi lembaga peradilan yang sesungguhnya.

Apalagi, para pengacara pemain di Pengadilan Agama sudah terkesan ikut mencari- carikan alasan yang tepat agar dapat membantu majelis Hakim yang memeriksa perkara perceraian.

Oknum pengacara dan hakim juga sering bekerjasama dengan harmonis untuk mengabulkan perceraian yang diajukan. Dan, yang paling miris adalah kebanyakan permohonan gugatan alamat “Ghaib”.

Mahkamah Agung, Komisi Yudisial dan Assosiasi para pengacara perlu duduk bersama untuk melihat fenomena yang terjadi saat ini di Pengadilan Agama, khususnya yang menangani gugatan perceraian.

Bila diperhatikan sidang-sidang perkara gugatan perceraian, kebanyakan Majelis Hakimnya tidak lagi ada niat keberpihakan mempertahankan keutuhan rumah tangga pemohon. Bahkan sering memutus perkara tidak lagi didasari proses Hukum Acara.

Surat Edaran Mahkamah Agung tentang keharusan beracara secara online karena situasi pandemi Covid-19, merupakan alasan yang sangat merugikan masyarakat.

Sebenarnya dalam perkara gugatan perceraian, yang paling dibutuhkan adalah pemeriksaan secara langsung tatap muka, sehingga Majelis Hakim dapat merasakan apa yang dirasakan para prinsipal dan dampak terhadap anak-anak para prinsipal.

Fenomena banyaknya perceraian yang terjadi di berbagai Pengadilan Agama di Indoesia adalah suatu situasi yang sangat memprihatinkan, karena daftar permohonan gugatan di berbagai Pengadilan Agama mencapai ribuan per tahun.

Permohonan gugatan perceraian berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN), juga tidak kalah banyaknya dengan masyarakat biasa. Padahal, ASN selain undang-undang dan peraturan pemerintah, ada peraturan lainnya yang tidak memperbolehkan pasangan yang sah untuk memohon perceraian.

Kurangnya pembinaan Badan Kepegawaian Daerah adalah merupakan faktor pemicu perceraian di kalangan ASN. Dari hasil pengamatan, terjadinya fenomena ini yang paling perlu dibenahi adalah kadar keyakinan dari Majelis Hakim Pengadilan Agama.

Banyak hakim yang harus diperiksa karena memutus perkara tidak lagi berdasarkan fakta-fakta hukum dan keyakinan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan, pada saat ini yang paling perlu direformasi adalah mental para hakim yang kebanyakan oknumnya tidak lagi memeriksa perkara sesuai amanah UU dan marwah dari Hira-hiranya. Hakim tidak lagi berdiri di posisi adil dan cenderung mengedepankan subjektivitas.

Perlu juga diingat, dalam memutuskan perkata perceraian, hakim harus melihat alat bukti, baik bukti surat maupun saksi yang menjadi dasar pertimbangan unruk membuat keyakinan hakim menguat sehingga memutus cerai.

Seorang hakim tidak boleh dipengaruhi dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah segala sesuatu yang mempengaruhi hakim dalam penjatuhan putusan yang datangnya dari dalam diri seorang hakim atau psikologi hakim.

Sebagai masukan, Ketua Mahkamah Agung harus membenahi banyak hal. Diantaranya adalah mencabut beracara secara online karena cenderung membuka ruang untuk menerima suap. Ketus MA harus melakukan invetigasi ke lapangan dan nengevaluasi para panitera sang pengatur segala- galanya.

Marriage cases are different from other civil cases, the assembly must do more justice than injustice, Judges are honest and fair and fellow lawyers are noble and honorable. (*)


TerPopuler