Naluri Hakim Dalam Memeriksa Perkara Melahirkan Putusan yang Objektif

Naluri Hakim Dalam Memeriksa Perkara Melahirkan Putusan yang Objektif

Selasa, 20 Agustus 2019, 6:54:00 AM
Ilustrasi 
Bekasi Kota, PosPublik.co.id - Melihat suasana mengharukan di ruang sidang, naluri majelis hakim mendapat signal ada sebuah penyesalan yang cukup dalam dihati penggugat maupun tergugat jika harus bercerai. Cinta yang tulus diantara pasangan suami istri (Pasutri) yang awalnya ingin mengakhiri biduk rumah tangga, sulit dibohongi, membuat majelis hakim menunda agenda putusan. Situasi seperti ini jarang ditemui, dan bahkan nyaris tak pernah terjadi.

Agenda sidang pembacaan putusan perkara perceraian, Selasa (20/8) ini, oleh majelis terpaksa ditunda karena beberapa saat sebelum Ketua Majelis membacakan putusan, anggota Majelis memperhatikan Penggugat (Suami) maupun Tergugat (istri) tertunduk sambil mengusap air mata yang menetes membasahi pipi mereka. Melihat suasana mengharukan itu, naluri anggota majelis berkata ada yang terselip dihati penggugat maupun tergugat.

 “Tunda dulu putusan, berikan kesempatan terakhir mereka untuk bicara dari hati ke hati”, masukan anggota majelis kepada Ketua agar menunda pembacaan putusan. Anggota majelis beralasan karena di depan persidangan tampak diantara Penggugat dan Tergugat masih ada ikatan batin yang kuat. Keduanya terlihat sangat berat untuk mengakhiri biduk rumah tangga mereka. Itu tercermin dari isak tangis keduanya dipersidangan.

Terhadap masukan anggota majelis tersebut, majelis sepakat menscor sidang. Kepada masing-masing kuasa hukum, majelis hakim meminta untuk meninggalkan ruang sidang. Kesempatan itu oleh majelis berusaha memberi nasihat untuk yang terakhir pada Penggugat dan Tergugat bila mana berobah pikiran. "Jika memang merasa berat untuk berpisah, sebaiknya kembali membangun kepercayaan dan menghapus kesalahan yang telah terjadi. Ini juga demi anak-anak," saran majelis.

Mendengar saran dan nasihat Majelis hakim, tangis keduanya makin menjadi-jadi, terutama Penggugat (suami). Mendengar tangisan Suaminya, Tergugat (istri) spontan berkata dari arah meja tergugat, “papa jangan nangis kayak gitu". Mendengar ucapan tergugat, majelis langsung menyarankan agar tergugat (istri) mendekat kekursi suaminya. Rasa sayang dan cinta keduanya tidak bisa dibohongi dari cara keduanya berpegangan tangan diiringi isak tangis. Sang istri berusaha menenangkan hati suaminya.

Majelis kemudian menyuruh keduanya duduk berdampingan menghadap majelis, dan menanyakan keduanya apakah masih ingin sidang dilanjutkan dengan pembacaan putusan?.

Terhadap pertanyaan itu, mereka menggelengkan kepala pertanda tidak. Hal itu menjadi pertimbangan bagi majelis untuk menunda pembacaan putusan. Keduanya diberi kesempatan terakhir untuk menentukan sikap. Majelis berharap tidak akan pernah membacakan putusan yang mengakhiri biduk cinta kasih mereka.

Menjadi catatan penting dalam kisah di atas adalah, mengadili itu adalah peristiwa kemanusiaan yang di dalamnya ada dinamika lahiriah dan batiniah yang menyertai para pihak maupun Majelis hakim utamanya.

Derai tangis dan berbagai bahasa tubuh bisa didapati dan kadang menampak dan menyentuh rasa paling dalam bagi seorang hakim untuk memutuskan sebuah sikap, dan hal itu tidak akan didapati jika hanya memeriksa tumpukan berkas, tak juga diperoleh dari kecanggihan teknologi informasi, bahkan artificial intelligence sekalipun. (Mars)

TerPopuler